Belajarlah dari China

Oleh: Yanuar Rizky

Ada negara yang maju, dalam arti masyarakatnya sejahtera, ketimpangannya minimal, menerapkan demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, bahkan otoriter.

Ada pula negara demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan otoriter yang maju tapi menghasilkan ketimpangan kelas, yang gagal menyelesaikan problem mendasar "kemiskinan struktural" karena ketimpangan akses pendidikan dan kapital berusaha.

Kegagalan struktural itu semua karena Korupsi dan Nepotisme!

Reformasi politik di China, tidak merubah haluan menjadi negara demokrasi, tapi tetap model terpimpin di polit biro Partai Komunis China.

Yang dilakukan adalah memberikan back up ke kelompok "pasar" yang juga generasi baru politik memimpin.

Itulah Zu Rongji yang menjadi Perdana Menteri, yang sebelumnya adalah Gubernur Bank Central China.

Polit Biro PKC melihat Asia akan mengalami krisis. Mendahului Kurva, Rongji jadi Perdana Menteri 1998 untuk melakukan reformasi dengan kalimat ikonik Deng Xioping "tak peduli kucing putih kucing hitam, yang penting bisa nangkap tikus".

Rongji memimpin dengan pidato ikoniknya "tidak ada ruang bagi koruptor, hukum mati korupsi dan sisakan satu peti mati untuk saya!".

Reformasi ekonomi China yang kita liat hari ini, bukan soal demokrasi terpimpin cenderung otoriternya, tapi satu kata dengan perbuatan "tak ada ruang bagi korupsi dalam agenda strategis pemerintah!"

Itu yang harus dicontoh dari China.

______________
*CATATAN: Prabowo sesumbar akan memburu koruptor sampai Antartika. Tapi dalam penyusunan Kabinetnya saja banyak calon-calon menterinya yang terindikasi kental Korupsi, Nepotisme, Pencucian Uang. Tanpa ada satu kata dengan perbuatan, maka senjata "omon omon" akan makan tuannya.


Baca juga :