BAIAT KEPADA PRESIDEN ?

BAIAT KEPADA PRESIDEN ?

Ini satu lagi contoh ngustad beràqīdah Neo Murji-ah yang mengambil muka (tamalluq) / mengangkat telur kepada penguasa…

Bagaimana tidak…?

Karena suasana sehabis pelantikan presiden baru, maka langsung mengeluarkan fatwa bahwa kaum Muslimīn harus membaiàt presiden.

❓ Seperti biasa, pertanyaannya adalah: "Benarkah kaum Muslimīn harus membaiàt pemimpin hanya atas dasar agamanya Islām atau dia menjadi pemimpin bagi orang-orang Muslim?"

Jawaban singkat: Fatwa itu adalah kekonyolan yang lahir dari kurangnya aqal dan ceteknya ilmu, sehingga menyamakan pemerintahan yang berḥukum dengan qowānīn waḍìyyah (sistem perundang-undangan buatan manusia yang tidak berlandaskan langsung pada Syariat Islam) dengan pemerintahan yang berḥukum dengan Kitābullōh dan Sunnah Rosūlullōh ﷺ‎.

Akibatnya si ngustad itu salah dalam menempatkan hadits mulia:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa saja yang mati tanpa baiàt maka ia mati Jāhiliyyah.” [HR Muslim no 1851]

Padahal aturannya sangat jelas, karena baiàt itu TIDAK BOLEH kepada penguasa yang berḥukum dengan qowānīn waḍìyyah (hukum buatan manusia) ‼️ 

Kata Syaikhul Islam ibn Taimiyyah rahimahullah:

فلو ولِيَ شخص على أن يحكم بغير حكم اللـه ورسوله أو يقسم بغير العدل الذي أمر اللـه به ورسوله كان هذا شرطًا باطلًا باتفاق المسلمين وكذلك إذا أمر بما عُلم أنه مخالف لحكم اللـه

 “Jikalau ada seseorang yang memegang kekuasaan dengan syarat dia tidak akan memerintah dengan ḥukum Allōh dan Rosūl-Nya, atau tidak memutuskan dengan keàdilan yang diperintahkan oleh Allōh dan Rosūl-Nya, maka itu adalah syarat yang bāṭil berdasarkan kesepakatan kaum Muslimīn.” [lihat: Aḥmad ibn Àbdul-Ḥalīm ibn Taimiyyah al-Ḥarrōniyy, al-Ùqūd].
 
Pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini sesuai dengan hadits mulia:

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ ٱللَّـهِ فَهْوَ بَاطِلٌ ، وَإِنِ ٱشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ ، شَرْطُ ٱللَّـهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ

“Siapa saja yang membuat persyaratan yang tidak terdapat pada Kitābullōh maka ia adalah bāṭil sekalipun ia membuat 100 syarat, karena syarat yang dibuat Allōh lebih benar dan kokoh.” [HR al-Buḳōriyy no 2155; Ibnu Mājah no 2521].

Adapun Presiden itu disumpah / berjanji dengan teks sesuai Pasal 429 UU nomor 7 tahun 2017, yang mana lafaẓ-nya adalah:

"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."

Maka jelas di dalam sumpah Presiden tersbut TIDAK ADA sama sekali disebutkan tentang al-Qur-ān dan as-Sunnah. Tidak ada disebutkan bahwa kewajiban bagi presiden untuk menegakkan Kitabullōh.

Satu lagi hadits mulia yang berkaitan siapa penguasa yang benar-benar harus ditaati itu adalah:

إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Bila seorang budak yang buntung dan berkulit hitam diangkat sebagai pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi Ma’shiyah Wal Imam Junnah.

Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:

يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ

“Dia memimpin kalian dengan/berdasarkan Kitabullah“.

Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi:

ما أقام لكم كتاب الله

“Selama dia menegakan kitab Allah bagi kalian“.

Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama menegakan hukumNya juga mencakup Sunah Nabi-Nya”.

SANGAT JELAS bahwa si ngustad itu telah memaksakan BAIAT yang adalah perintah SYARIAT  kepada penguasa yang sama sekali tidak berhak untuk dibai'at. Bisa dipastikan bahwa kelakuan mengambil dalīl-dalīl Syariat untuk membenarkan bai'at kepada penguasa yang berhukum dengan qowānīn waḍìyyah (Wetboek buatan Kolonial Kāfir Belanda) itu adalah perwujudan aqidah Neo Murji-ah.

Adapun tidak membai'at ini urusannya bukanlah tidak mengakui apalagi memberontak. Tidak ada urusannya dengan hal itu. Sebab kaum Muslimīn taat kepada penguasa dalam hal-hal yang ma`rūf, sebagaimana perintah Baginda Nabī ﷺ:

إِنَّمَا ٱلطَّاعَةُ فِي ٱلْمَعْرُوْفِ

“Kewajiban taat hanyalah pada hal yang ma`ruf.” [HR al-Buḳōriyy no 7257; Muslim no 1840; an-Nasāiyy no 4205].

Demikian, semoga dapat dipahami.

(Arsyad Syahrial)

Baca juga :