Oleh: Faisal Lohy
Menghitung hari jelang berakhirnya kekuasaan Jokowi. Apa kesan dominan yang dapat mewakili keseluruhan perjalanan kepemimpinan politiknya?
Pandai Drama, pintar sandiwara, lihai dan licik, munafik, korupsi, manfaafkan kuasa jabatan dan cawe-cawe bangun dinasti politik, tak punya rasa malu, preteli sistem dan sturktur hukum untuk kepentingan pribadi dan kolega di lingkaran istana, manipulatif, kezaliman, penipuan, tidak adil, otoriter, surplus regulasi dan kebijakan neoliberal. Apa lagi? Silahkan lanjutkan!!!
Selama dua periode, semua perilaku bobrok Jokowi, berjalan seiring penegakan kebijakan politik ekonomi yg lebih mengedepankan kepentingan konglomerasi bisnis. Orientasi kebijakan ekonomi liberal, menjadi pembenar kekuasaan Jokowi mengobral sektor-sektor strategis, termasuk infrastruktur kepada konglomerat lewat mekanisme monopolistik yg korup.
Utang luar negeri dan investasi asing di letakan sebagai "prime mover" pembangunan. Banyak regulasi bercorak neoliberal dilahirkan. Membuka peran jejaring konglomerat mendominasi kegiatan ekonomi, merampok kekayaan alam secara brutal.
Saya tidak sedang menuding tanpa data. Silahkan buka hasil riset The Economist. Di akhir 2023 lalu, mendudukan Indonesia pada peringkat ke-9 dalam hasil riset "Crony Capitalism Index" global. Hebat kan masuk 10 besar dunia.
Peringkat Crony capitalism index mengukur seberapa kuat pejabat pemerintah sebuah negara bekerjasama dengan jaringan bisnis konglomerat di lingkaran kekuasaan menjalankan praktik "rent seeking", memperoleh keuntungan secara tidak adil dan korup.
Sejak pertama digelar pada 2014 lalu, bertepatan dengan tahun pertama Jokowi memimpin, Indonesia selalu masuk 10 besar dunia. The Economist merinci, perampokan kekayaan ekonomi lewat praktik rent seeking terjadi hampir di semua sektor. Terutama pertambangan mineral mentah, sektor Migas, Agraria, keuangan, transportasi publik dan sektor jasa penting lainnya.
Kenyataan dalam riset The Economist, sejalan dengan tingginya indeks persepsi korupsi Indonesia, masuk kategori paling buruk di dunia, 34 poin di peringkat 110 secara global. Dengan catatan prestasi ini, Freedom House of America, mendapuk Indonesia sebagai "flawed democracy", negara gagal demokrasi di peringkat 56 dunia.
Relasi konglomerasi yg terbangun antara pebisnis dan kekuasaan sepanjang 10 tahun Era Jokowi, mengindikasikan sistem ekonomi yg terbangun berpola monopolistik, koruptif. Hanya menjamin sentralisasi penguasaan kekayaan ekonomi secara dominan ke tangan segelintir elit. Eksesnya, menciptakan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan.
Terkonfirmasi lewat tingginya indeks ketimpangan pendapatan antara kelas atas dan masyarakat miskin secara ekstrim. BPS dalam catatan LBDSE September 2024, menyebut rasio gini nasional 0,379.
Angka tersebut menunjukan prospek sentralisasi kekayaan ekonomi ke segelintir konglomerat terus menanjak. Ketimpangan pendapatan terus berlanjut. Orang kaya jumlahnya makin sedikit namun jumlah kekayaannya makin bertambah. Sementara orang miskin jumlahnya makin banyak namun jumlah kekayaannya dan pendapatannya makin miris.
Dalam Report Economy Inequality Indonesia yg diterbitkan Celios, 24 September lalu, dengan judul "Pesawat Jet Untuk si Kaya, Sepeda Untuk si Miskin", menunjukan harta 50 orang terkaya sama dengan kekayaan 50 juta orang miskin Indonesia.
Beradasarkan hasil riset The Wealth Report dari Knight Frank 2024, Celios merinci, Harta 50 triliuner di Indonesia itu, meningkat tajam dari Rp 2.470,57 triliun di 2019 menjadi Rp 5.243,07 triliun di 2024.
Mirisnya lagi, tidak sedikit triliuner di Indonesia adalah para menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi. Di sepanjang periode kedua, ada 17% atau 7 menteri Joko Widodo yang tercatat memiliki kekayaan di atas Rp1 triliun.
Celios menghitung, akumulasi kekayaan para menteri kabinet Jokowi, jika dialokasikan untuk program makan bergizi gratis dapat terdistribusi kepada 32,85 juta anak di seluruh Indonesia.
Krisis ketimpangan pendapatan Indonesia jauh-jauh hari sudah diperingatkan Oxfam dan Infid dalam laporan "Menuju Indonesia yg Lebih Setara". Hasil riset mencatat harta 4 orang terkaya Indonesia capai US$ 25 miliar atau Rp 333,8 triliun. Jumlah itu lebih besar dari kekayaan 100 juta orang miskin Indonesia yg hanya US$ 24 miliar atau Rp 320,3 triliun.
Krisis ketimpangan kekayaan ini menunjukan, kebijakan ekonomi pemerintah Jokowi belum berpihak pada rakyat luas. Sebaliknya, justru menjadi cerminan kebijakan dengan ekses keberpihakan memperkaya konglomerat dan para menteri kabinet. Rakyat, mampus juga bodoh amat.
Namun sampai diujung waktu masa jabatan, Jokowi dan para menterinya masih saja betah bersandiwara. Dengan konyolnya masih mengkampanyekan kesuksesan Jokowi membawa perkembangan pesat-postif dalam pembangunan ekonomi.
Menggunakan hasil riset "World Competitivness Rangking" 2023 yg diterbitkan Rise Institute For Management Development, pemerintah sangat berbangga diri, menyebut, peringkat daya saing global Indonesia menempati urutan 27 dari 67 negara. Meningkat dari posisi 40 di 2020, 37 di 2021 dan 44 di 2022.
Dengan peringkat tersebut, Indonesia masuk 3 besar daya saing ekonomi terbaik di kawasan Asia Tenggara setelah Singapura dan Thailand. Di level global, daya saing Indonesia bahkan melampui Inggris dan Jepang.
Menurut Jokowi dan para menterinya,
Salah satu kunci kesuksesan pemerintah, terletak pada keberhasilan pembangunan infrastuktur. Eksesnya, sukses menciptakan kemudahan bisnis dan investasi, geliat ekonomi berkualitas sehingga berujung pada pencapaian indeks daya saing global yg membanggakan.
Omong kosong. Dibedah lebih dalam, realitanya sangat menyakitkan. Secara teori, fungsi utama infrastruktur bukan hanya mendukung kelancaran bisnis, investasi dan kegiatan ekonomi.
Lebih penting dari itu, membuka konektivitas untuk menjamin pemerataan pembangunan di seluruh wilayah, melenyapkan disparitas regional, sekaligus mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan struktural.
Bagaimana kenyataannya ? Mari kita buka data BPS dalam Laporan LBDSE September 2024, bahwa pertumbuhan ekonomi masih terpusat secara mayoritas 57,05% di pulau Jawa dan 22,01% di Sumatera. Dominasi pertumbuhan di dua wilayah tersebut sudah mencapai 77,06% secara nasional.
Sementara Kalimantan hanya 8,49%, Sulawesi 7,10%, Bali dan Nusa Tenggara 2,77% serta Papua dan Maluku yg hanya 2,58%.
Bagaimana mungkin daya saing global Indonesia bisa positif kalau faktanya dalam negeri masih terjadi krisis ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi antar provinsi, antar pulau dengan realitas kesenjangan berbasis disparitas angka yg sangat buruk ?
Krisis ketimpangan pembangunan secara regional, sekaligus mengkonfirmasi, laju pembangunan ekonomi tetap terpusat di Jawa dan Sumatera. Sementara puluhan provinsi di kepulauan lainnya, tetap terseok-seok, terjebak dalam keterbatasan, minim pembangunan, kurang perhatian, tidak masuk radar prioritas pemerintah. Ini namanya diskriminasi.
Hal yg sulit diterima dari ekses pembangunan infrastruktur, selain gagal menciptakan pemerataan pembangunan secara regional, juga gagal menjamin proses industrialisasi di sektor formal, paling buruk menimpa manufaktur dan pengolahan, terutama di pulau Jawa.
Tergambar lewat kinerja Prompt Manufacturing Index (PMI) yg terkontraksi di level 49,2. Di bawah batas minimum PMI 50. Turut menjatuhkan kontribusi manufaktur terhadap PDB.
Jokowi dalam sidang Kabinet Paripurna di IKN pada Senin 12 Agustus lalu menyebut, penurunan manufaktur terlihat dari produksi yg minus 2,6% dan penurunan permintaan baru 1,7% dan PHK 1,7%.
Merespon fenomena tersebut, para menteri kabinet, menyalahkan faktor ekternal yg muncul akibat ketidak pastian perekonomian global. Menurut mereka lingkungan global saat ini sangat tidak settle, sangat dynamic, cenderung volatile, bahkan hostile to each other.
Beberapa fenomena dominan, seperti perang dagang antara Cina dan Amerika, konflik ukraina dan meningkatnya eskalasi di Timur Tengah, mengganggu mata rantai distribusi, membawa dampak kontraksi ekonomi di mayoritas negara dunia sehingga melemahkan permintaan terhadap barang impor indonesia, ujungnya melemahkan kinerja manufaktur.
Pendapat yang sangat naif. Hakikatnya, Peristiwa global bersifat musiman dan hanya berstatus sebagai faktor pemicu bukan penyebab utama.
Secara historis, perlambatan manufaktur bukan barang baru yg teejadi bersamaan dengan peristiwa global saat ini saja. Pelemahan manufaktur bahkan telah berlangsung tanpa jeda sejak tahun 1995. Di tahun itu, kontribusi manufaktur terhadap PDB 41,8%. Kemudian turun menjadi 38,5% di 2005, turun lagi jadi 28,9% di 2023 dan turun drastis jadi 18,6% di 2024 ini ( LBDSE BPS, 2024)
Dibedah lebih dalam, fenomena kejatuhan manufaktur tanpa jeda selama puluhan tahun, disebabkan kesalahan orientasi kebijakan industrialisasi pemerintah.
Pertama, soal pembangunan infrastruktur yg tidak sejalan dengan rencana pengembangan industri nasional. Bahwa pembangunan infrastruktur lebih diprioritaskan untuk memudahkan aktifitas bisnis para konglomerat di sekitar kekuasaan. Bukan untuk menjamin kemudahan bisnis industri secara luas.
Kedua, pemerintah tidak pernah serius membangun kekuatan fondasi industrialisasi di sektor manufaktur. Hal itu terlihat lewat proses Transisi struktural dari sektor primer (agraria) ke sektor industri modern (manufaktur) yg berjalan premature. Salah satunya, akibat tidak ditopang kebijakan hilirisasi, dan rendahnya pemanfaatan kandungan lokal.
Kegagalan hilirisasi dan rendahnya pemanfaatan kandungan lokal, terus berdampak pada masih tingginya ekspor bahan mentah (bahan baku dan penolong). Eksesnya, dalam negeri kekurangan bahan baku untuk menopang kinerja manufaktur.
Terbukti lewat tingginya data impor bahan baku dalam catatn LBDSE BPS, bahwa hingga Juli 2024, impor bahan baku mencapai 73,73% dari total impor Indonesia. Mayoritasnya, diperuntukan untuk menopang kegiatan produksi manufaktur.
Kemenperin mencatat, lebih dari 60% industri dalam negeri bergantung terhadap bahan baku impor. Paling tinggi adalah sektor farmasi dan obat-obatan dengan ketergantungan mencapai 90%.
Tentu saja sangat miris. Indonesia kaya akan sumber daya alam, kaya akan bahan mentah, bahan baku. Tapi mayoritasnya diekspor keluar. Manufakturnya malah bergantung tinggi terhadap bahan mentah impor.
Tentu kinerja manufaktur tertekan karena didesak biaya impor yg mahal. Memicu kenaikan biaya produksi. Tergambar lewat tingginya producer price index (PPI) yg melebihi consumer price index (CPI).
BPS dalam laporan LBDSE Triwulan II 2024 mencatat nilai PPI sebesar 132,09. Sementara CPI hanya 105,93. PPI yg lebih tinggi dari CPI menunjukan industri, termasuk manufaktur sedang tertekan biaya produksi yg tinggi melebihi laba yg diperoleh dari hasil penjualan. Pilihannya harus melakukan efisiensi untuk menekan biaya produksi. Termasuk pengurangan pekerja. Ada pula yg harus gulung tikar.
Terjadi PHK besar-besaran. Imbasnya ke kelas menengah sebagai pekerja mayoritas di sektor ini. Kehilangan pekerjaan, kehilangan pendapatan, jatuh daya beli dan tersingkir.
BPS mencatat, 5 tahun terkahir, di 2019 jumlah kelas menengah masih 57,33 juta. Di 2024 turun jadi 47, 85 juta. Artinya, turun drastis sebanyak 9,48 juta. Mayoritas diantara mereka turun ke level "aspiring middle class", kelas masyarakat rentan miskin yg bertambah dari 128,85 juta pada 2019 menjadi 137,5 juta di 2024 (LBDSE BPS, September 2024).
Hal ini menunjukan, proses industrialisasi yg dikampanyekan pemerintah Jokowi selama 10 tahun terkahir hanyalah omong kosong. Bukannya memperkuat manufaktur sebagai tulang punggung ekonomi nasional, malah menjatuhkan. Bukannya menambah penyerapan lapangan kerja di sektor formal, malah turut menyempitkan.
Dampaknya sangat memprihatinkan. Secara persentase, BPS mencatat, Kelas menengah di sektor manufaktur di tahun 2019 masih 21,4%, turun drastis menjadi 17,13% di 2024.
Artinya, mayoritas 84% pekerja termasuk kelas menengah indonesia saat ini bekerja di sektor non formal. Lebih buruk dari tahun 2013 yg hanya 72,6%. Sangat rentan jatuh miskin.
BPS dalam LBDSE mutakhir, mencatat jumlah kemiskinan Indonesia saat ini 25,22 juta jiwa dengan garis kemiskinan yg tidak rasional Rp 582.932/ bulan : 30 hari = Rp 19.431/ hari. Pemerintah Indonesia didesak naikan ke level yg lebih manusiawi oleh Bank Dunia, yakni US$ 2,15 atau Rp 32.745 per orang per hari.
Jika pemerintah bertindak proporsional naikan garis kemiskinan sesuai perintah Bank Dunia, maka kemiskinan Indonesia naik dari 9,03% saat ini menjadi 40%, atau hampir separuh rakyat Indonesia masuk kategori miskin.
Sandiwara dan kebobrokan pembangunan ekonomi, dilengkapi dengan drama pemerintah Jokowi perkuat fundamental makro ekonomi. Pemerinteh berbangga diri dengan pertumbuhan rata-rata tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) di angka 5%.
Pertanyaannya, rasionalkah berbangga diri dengan perolehan PDB yg rata-rata capai 5% per tahun itu ?
Sangat tidak rasional. Pertama, PDB adalah total pendapatan yg diperoleh dari hasil produksi barang dan jasa yg belum melepaskan pendapatan orang asing di dalamnya.
Pantaskah pemerintah berbangga diri dengan total kekayaan yg masih terdapat milik orang asing di dalamnya ?
Contohnya, sepanjang tahun 2023, perolehan PDB Indonesia capai 5,05% dikonversi ke dalam hitungan nilai tukar mencapai Rp 4.919,7 triliun. Jika dibagi total ke seluruh masyarakat Indonesia yg jumlahnya 283,48 juta, maka pendapatan rata-rata masyarakat Rp 17 juta per orang.
Sama sekali tidak menggambarkan kenyataan yg sebenarnya. Pertama, total PDB yg didistribusikan untuk melihat pendapatan rata-rata masyarakat, masih terdapat pendapatan orang asing di dalam. Artinya, pendapatan orang asing turut digunakan untuk menyusun pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia.
Kedua, pendapatan rata-rata tidak menggambarkan distribusi pendapatan rill masyarakat. Contoh sederhananya, menyamakan pendapatan antara seorang tukang becak dengan konglomerat, ya berbeda jauh. Faktanya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan Indonesia sangat tinggi.
Kedua soal kinerja neraca perdagangan yg dibangga-banggakan. Data mutakhir BI dalam Siaran Pers No.26/174/DKOM, mencatat perdagangan suplus US$ 0,47 miliar. Surplus perdagangan menunjukan penerimaan keuntungan dari hasil ekspor yg lebih tinggi dibanding impor.
Tapi apa gunanya surplus perdagangan jika di saat yg sama defisit transkasi berjalan terus berlanjut, bahkan makin menanjak. Menunjukan pendapatan berjalan yg diperoleh dari surplus perdagangan justru digunakan habis untuk membayar habis kewajiban luar negeri.
Diantaranya membayar pinjaman, berupa pokok dan bunga utang, transfer pendapatan laba hasil investasi orang asing di indonesia, dll.
bahkan jika surplus perdagangan digabungkan dengan pendapatan surplus modal finansial triwulan II US$ 2,7 miliar pun masih kurang untuk membayar kewajiban luar negeri.
Akibat pendapatan dari surplus perdagangan dan surplus modal finansial tidak mampu melunasi besarnya defisit transaksi berjalan, maka pembayaran kewajiban luar negeri harus menguras cadangan devisa.
Contoh, pada akhir September 2024, cadangan devisa berkurang jadi US$ 149,9 miliar dari US$ 150,2 miliar pada akhir Agustus 2024. Penurunan cadangan devisa digunakan untuk pengeluaran pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sehingga memicu pelemahan Rupiah terhadap Dollar Amerika yg sulit lepas dari level Rp 16.000.
Lihatlah betapa rapuhya ekonomi nasional secara fundamental makro. Mejunjukan ekonomi indonesia secara fundamental, tidak punya ketahanan dan lemah kedaulatan. Defisit transaksi berjalan menunjukan kebutuhan pembayaran kewajiban luar negeri, terutama utang dan hasil laba investasi orang asing, tidak mampu dibayar lunas dari pendapatan kegiatan ekonomi yg dibangga-banggakan pemerintah.
Terpentingnya, defisit transaksi berjalan menunjukan kondisi arus kas ekonomi nasional negatif. Artinya kita tidak punya kesempatan untuk menabung dalam rangka membiayai kebutuhan pembangunan secara mandiri.
Arus kas yg negatif secara terus-menerus, menjadi sebab ketergantungan Indonesia terhadap utang. Terus bergantung terhadap pinjaman baru untuk membayar kewajiban luar negeri, terutama utang dan pembiayaan pembangunan.
Inilah alasan utama dibalik "lingkaran setan" jebakan utang. Ambil utang baru untuk bayar utang lama, ambil utang baru untuk biayai pembangunan. Lalu kapan indonesia bisa punya kedaulatan dan ketahanan bangun ekonomi yg stabil secara mandiri.
Terbukti, kebijakan liberal dengan orientasi lingkaran setan utang dan investasi, menjadi pembenar Jokowi cetak utang di luar batas kemanusiaan. Periode pertama, utang dicetak Rp 2.170,5 triliun. Periode kedua, 3.551,8 triliun. Total 10 tahun capai Rp 5.269 triliun.
Lalu seberapa besar manfaat dibalik semangatnya jokowi ambil utang atas nama pembangunan ?
Biarkan data rasio pengambilan utang terhadap pendapatan negara yg berbicara. Angkanya di 2014 sebesar 268,27%. Naik begitu cepatnya jadi 315,81% di 2024 ini. Semakin tinggi, semakin negatif. Menunjukan pengambilan utang jokowi tumbuh lebih cepat dari pertumbuhan pendapatan negara.
Dengan cepatnya pengambilan utang, rasionya terhadap PDB capai 38,49%. Menteri keuangan Sri Mulyani menyebut: masih aman, jauh di bawah batas 60%. Masih jauh lebih bagus dari Jepang 263,90%, Amerika 122,3%, Cina 86,3%, Inggris 97,6%, Malaysia 61,1%, Thailand 61,9% dan Filipina 60,1%.
Ini bukan soal rasio utang masih di bawah 60% terhadap PDB. Tapi soal apakah pantas PDB dijadikan standar aman utang Indonesia ?
Apakah pantas membandingkan rasio utang PDB dengan negara lain untuk menyatakan utang Indonesia masih aman ?
Sangat keliru membandingkan Indonesia dengan negara lain. Kondisi utangnya jauh berbeda. Misalnya dengan Jepang, bahwa 90% utang Jepang adalah ke warga negaranya sendiri. Dibayar pake mata uangnya sendiri. Bukan dengan dollar AS.
Indonesia dari total utang 8.461 triliun, hampir 30% dalam bentuk mata uang asing (US$). Artinya, Indonesia harus punya kemampuan mencetak dollar AS lebih banyak untuk melunasi utangnya.
Bagaimana menilainya ?
Pertama, diukur lewat debt to export ratio Indonesia yg saat ini lebih dari batas aman 200%. Menunjukan kemampuan ekspor Indonesia cetak Dollar AS untuk bayar utang luar negeri sangat lemah.
kedua, diukur berdasarkan debt to service ratio yg saat ini 23,8%, di atas batas maksimal 20%. Menunjukan untuk melunasi pokok dan bunga utang lama, dibayar menggunakan pinjaman baru. Gali lubang tutup lubang (Statistik Sulni BI, September 2024).
Penerapan debt to GDP ratio atau rasio utang terhadap PDB sendiri diadopsi dari standar yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia). Standar aman Bank Dunia 21%– 49%. Sementara IMF 26%-58%. Indonesia sendiri tidak merujuk keduanya, karen standar 60%. ketinggian.
Secara teoritik, PDB merupakan output atas seluruh unit usaha yang ada dalam wilayah negara tertentu. Wujudnya tidak berbentuk cash, melainkan hanya merupakan perhitungan semata. PDB dirumuskan dalam persamaan: PDB = C+ G + I + (X-M)
Karena hanya merupakan perhitungan semata, maka PDB tidak layak dijadikan ukuran pembanding rasio utang pemerintah. Jika rasio utang/PDB rendah tidak berarti bahwa negara memiliki kemampuan tinggi untuk melunasi utang-utangnya, sebab PDB sendiri tidak berbentuk cash.
Sederhananya, kalau tidak punya cash, lalu kita mau ambil duit dari mana buat bayar utang. Meskipun rasio utang cuma 10% terhadap PDB, kalau tidak punya cash saat jatuh tempo, pasti tidak bisa dibayar. Apalagi sampai rasionya menyentuh 38,49% terhadap PDB seperti saat ini.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, menunjukan kondisi utang indonesia udah masuk level over borrowing. Jika tidak dikelolah dengan baik, bisa masuk level lampu kuning menuju default debt.
Pemerintah sudah diingatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 2020 lalu. Bahwa utang Indonesia telah melampui Internasional Debt Relief yg ditetapkan IMF pada 25%-35%.
BPK juga mengingatkan terkait rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19.06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4.6% - 6.8% dan rekomendasi IMF sebesar 7% - 19%. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92% - 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% - 150% (IHP LKPP BPK, 2022).
Inilah warisan Jokowi Ke Prabowo. Mewarisi perekonomian yg dari sisi ketahanan, sangat lemah secara fundamental. Dari sisi kedaulatan, seperti "pelacur yg siap dihajar kapan saja".
Bahwa selama ini, kedaulatan dan ketahanan ekonomi rusak akibat tingginya permintaan terhadap Dollar AS dan bentuk utang dan investasi asing yang menjamin kelanggengan putaran ekonomi di bawah kendali sistem pasar bebas yg rapuh.
Secara teoritik, merujuk kepada sistem nilai tukar berbasis free floating exchange rate, masuknya dollar AS akan membuat rupiah terus mencari "new equilibrium" (keseimbangan baru) ke arah yg terus melemah jika tidak dibarengi keseriusan memperkuat fundamental ekonomi.
Kenyataannya, permintaan tinggi terhadap dollar AS, sejauh ini tidak diimbangi dengan kemampuan pemerintah
menghasilkan dollar AS. Hal inilah yg mengakibatkan rupiah terus bergerak mencari keseimbangan baru menuju penciutan.
Terbukti, pada awal Jokowi berkuasa, pada APBN awal di 2015, asumsi makro nilai tukar Rp 11.900. Di 2024 sekarang melemah bahkan mencapai di atas Rp 16.000 per dollar AS. Melemah Rp 4.100 per dollar AS.
Lantas siapa yg menikmati selisih lebih atas pelemahan rupiah itu ? Pertama, investor asing dalam bentuk imbal hasil investasi. Kedua, negara donor pemberi utang lewat pembayaran pokok dan bunga
utang.
Jika ada pihak yg diuntungkan, pasti ada pihak yg dirugikan. Lantas siapa yg harus menaggung beban kerugian
itu. Rakyat Indonesia. Secara teoritikal, pelemahan rupiah secara signifikan berpengaruh pada inflasi.
Contoh, pada kasus inflasi listrik dan pangan. Peningkatan harga listrik cukup signifikan dari rata-rata Rp. 728,32
per kWh di 2012 menjadi Rp 1.400-1.600 per kWh.
Sementara mahalnya harga pangan tercermin dari besarnya kontribusi pangan terhadap total garis kemiskinan nasional mencapai 74%. Dimana beras paling dominan menguras 29% pendapatan keluarga miskin dengan relasi sumbagan sebesar 21,8% terhadap kemiskinan.
Berdasarkan statistik tersebut, disimpulkan, kalau terjadi kenaikan
harga beras sebesar 10%, orang miskin baru bertambah 1,2 juta (BPS, 2024).
Atas permasalahan penciutan nilai tukar serta dampak buruknya terhadap rakyat Indonesia, bagaimanakah bangsa ini mengejanya. Apakah ini tamparan ataukah sanjungan kepada pemerintah atas sistem ekonomi pasar bebas yang diorientasikan
dan diterapkan selama ini?
Inilah warisan sistem konyol "ekonomi pasar bebas", neoliberalistik yg Jokowi ke Prabowo. Nampaknya akan terus dilanjutkan Prabowo. Lihat saja defisit APBN 2025 yg akan dijalankan Prabowo. Nilainya ditetapkan Rp 616,2 triliun.
Secara teoritikal, cara berfikir Barat menyediakan dua cara instan untuk membayar defisit APBN. Yakni pengambilan utang dan naikan tax ratio atau pajak.
Dengan konyolnya, Prabowo mengadopsi kedua cara tersebut. Dalam APBN 2025, ditetapkan pengambilan utang baru Rp 775,9 triliun. Menunjukan ketahanan keuangan Prabowo di tahun pertama, bertumpu pada permintaan dollar AS yg tinggi atas nama utang.
Prabowo juga menetapkan kenaikan pajak PPN jadi 12%. Bagaimana bisa, pajak dinaikan di tengah situasi deflasi beruntun secara tahunan yg menunjukan daya beli rakyat sedang terpukul akibat situasi sulit ekonomi saat ini. Bagaimana target pajak bisa dogenjot dalam keadaan seperti ini ?
Prabowo. Presiden baru ini nampaknya masih memiliki keyakinan yg tetap kuat terhadap bangunan pemikiran ekonomi barat. Faktanya, sejak awal, ekonomi barat yg dikendalikan AS di Indonesia lewat sejumlah lembaga global yg bermarkas di Breeton Woods adalah rapuh.
Bahwa sistem ekonomi terbuka yg selama puluhan tahun dijalankan Indonesia justru menyemai perilaku rakusnya pemodal, tidak jujurnya pasar, serta keserakahan dan keuntungan adalah segalanya.
Lalu Bagaimana mungkin kedaulatan dan ketahanan bisa terwujud jika Prabowo terus melanjutkan sistem politik-ekonomi yg puluhan tahun cenderung eksploitatif, membuka peluang moral hazard serta profit adalah tujuan ?
Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal: the winners takes all, the loser gets nothing dan survival of the fittest, terus mendorong para pebandar, pejabat dan wakil rakyat berkelompok menurut kesamaan orientasi memperebutkan kekuasaan yg melahirkan kekayaan panjang.
Dengan kesimpulan tersebut, kita akan sampai pada pengertian Prabowo sebagai pelanjut sistem “demokrasi korporasi”. Dalam bahasa saya, “republik investor”. Maka berhentilah berharap keadilan dan kesejahteraan.
(*)