Ironi Mandalika, Meriah Sambut Pembalap tapi Sepi di Sirkuit
Kicauan jurnalis senior MotoGP, Simon Patterson, yang menyuarakan keprihatinannya ketika memandang tribune kosong, seolah jadi tamparan bagi penyelenggara. Ia bahkan menyebut balapan MotoGP di Lombok ini sebagai kegagalan.
“Masalah jumlah penonton Mandalika berlanjut. Tribune grandstand utama yang kapasitasnya 30 ribu, hanya diisi sekira 500 orang sekarang. Saya berbicara dengan penggemar berat MotoGP lokal yang tidak mampu membeli tiket General Admission yang harganya 30 euro (sekira Rp 500 ribu), di pulau di mana upah minimum bulanan 150 euro (sekira Rp 2,5 juta),” tulisnya di X.
“Sungguh menyebalkan karena ketika Anda melihat situasi seperti ini, sepertinya fans Indonesia pantas mendapat lebih dari balapan,” lanjutnya sambil mengunggah foto-foto kerumunan masyarakat saat parade pembalap MotoGP.
Penurunan jumlah penonton sejatinya sudah diprediksi oleh promotor lokal GP Indonesia, Mandalika Grand Prix Association (MGPA) dan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC). Untuk mengurangi agar tidak berkurang tajam, berbagai program diluncurkan.
Mereka melakukan promosi dengan berbagai cara, termasuk memberi diskon tiket besar. Salah satunya adalah harga Rp1 hingga Rp75.000 untuk Friday Pass, serta potongan harga 30-50 persen untuk Weekend Pass, yang berlaku untuk nasabah Bank Mandiri.
Tak cuma itu, untuk penonton lokal Nusa Tenggara Barat juga disediakan tiket harga khusus, antara Rp245.000 untuk General Admission sampai Rp1.127.000 untuk Premium Grandstand.
Tapi sayangnya, berbagai upaya itu seolah sia-sia jika tidak dibarengi oleh turunnya harga tiket dan akomodasi. Sudah menjadi rahasia umum ketika MotoGP menyambangi Mandalika, biaya hotel akan melonjak gila-gilaan, bahkan hingga tiga kali lipat.
Menurut pengalaman seorang jurnalis lokal, beberapa bulan lalu, ia mencoba memesan akomodasi dengan harga yang sudah dinaikkan sedikit dibanding tahun lalu. Ketika sudah menyanggupi dan berniat membayar kontan, pihak penginapan malah menolaknya. Praktik seperti ini mungkin saja dilakukan di tempat lain untuk mengeruk cuan.
Beberapa hari lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengungkapkan siasat untuk meredam mahalnya akomodasi. “Solusinya, di ring pertama, kita memberi batas atas pada tarif hotel,” ujarnya.
Chairman Pertamina Grand Prix of Indonesia, Troy Reza Warokka, pernah mengutarakan, “Pembelian tiket mengalami penurunan, salah satu yang dipertanyakan penonton adalah harga akomodasi. Terus terang ini (akomodasi) menjadi salah satu hambatan yang menurut kami cukup menjadi pemicu. Kami menyuarakan keluhan penonton. Jika ditanya kenapa belum beli tiket, mereka menunggu harga akomodasi.”
Ia membandingkan biaya yang dikeluarkan jika menonton di Sepang Malaysia dan Mandalika.
Hal ini akan mengurangi minat turis domestik untuk menyaksikan pembalap berlaga di Indonesia.
Troy menambahkan, “Kemarin dapat peringatan dari Pak Gubernur (NTB) dan kepala dinas bahwa ini harus dikendalikan karena NTB paling dirugikan dengan harga-harga tinggi. Karena turis hanya akan datang sekali dan tidak mau kembali lagi.”
Yang jelas masalah ini harus segera ditangani oleh semua pihak yang terlibat karena tahun depan 2025 akan ada tur Asia, di empat negara: Jepang (26-28 September), Indonesia (3-5 Oktober), Australia (17-19 Oktober), dan Malaysia (24-26 Oktober).
Ini artinya penggemar MotoGP di Asia punya beberapa opsi yang nyaman bagi kantongnya.
Peluang fans dari Indonesia untuk lari ke Sepang juga lebih terbuka.
(Sumber: MotorSport)