Oleh: Faisal Lohy
Menteri Agama menyurati Menkominfo keluarkan surat edaran kepada lembaga penyiaran agar mengganti Adzan dengan Running Text saat misa akbar Paus Fransiskus yang akan berlangsung di GBK pada Kamis besok.
Para pendukung mengatakan, tidak masalah azan diganti running text, tidak melanggar syariat. Ini juga sebagai bentuk penghormatan kita kepada Paus Fransiskus serta wujud toleransi beragama terhadap umat katolik Indonesia.
Sebenarnya, secara normatif, kebijakan ini sah-sah saja. Azan tidak disiarkan di TV, bukan berarti umat Islam akan kehilangan penanda masuk waktu sholat. Masih ada masjid dan mushola yang jumlahnya hampir 1 juta unit. Azan berkumandang dimana-mana.
Persoalannya adalah Kementerian Agama dan Kemenkominfo, lewat surat edarannya, menyeret masuk himbauannya untuk dikaitkan ke dalam terminologi toleransi beragama. Inilah yang memunculkan polemik. Seolah-olah jika Azan tidak diganti running text saat misa akbar, umat Islam tidak toleran.
Sebenarnya persoalan ini tidak ada urusan dengan Toleransi beragama di Indonesia. Memangnya kalau siaran langsung Misa Akbar di TV dijeda sebentar, 4 menit saja, lalu adzan dikumandangkan lantas akan merusak toleransi beragama di Indonesia?
Toleransi akan tetap berjalan baik, tanpa harus mengganti suara adzan ke running text. Makna dasar toleransi beragama adalah menghargai dan tidak membatasi-menghalangi pihak lain menjalankan perintah agamanya.
Indonesia mayoritas umat Islam. Sejak awal Paus datang, umat Islam sangat bersikap toleran. Tidak ada penolakan, tidak ada upaya penjegalan. Umat Islam menghargai Paus dan rangkaian aktivitasnya yang berbeda sebagai pemimpin non-muslim.
Bahkan sampai muncul polemik pembatasan Adzan, umat Islam tidak satupun yang mengkritik, protes atau menjegal tayangan Misa Akbar Paus. Bagaimana kalau umat Islam menuntut sebaliknya. Siaran langsung Misa akbar dibatalkan agar azan bisa tetap dikumandangkan?
Misa Akbar silahkan jalan, disiarkan secara langsung, di saat yg sama adzan maghrib juga ditayangkan. Sama-sama saling berbagi, saling menghormati, tanpa harus meniadakan salah satunya.
Tinggal urusan teknisnya saja diatur. Saya sepakat dengan pernyataan Jusuf Kalla, layar TV dibagi dua saat masuk waktu Maghrib. Ketika adzan dikumandangkan, audio Misa Akbar dimute sebentar. Tak lama, kurang dari 4 menit. Beres masalah. Hilang polemik.
Itulah toleransi. Saling menghargai, saling menghormati, saling memberi kesempatan, tanpa harus membatasi salah satunya. Umat Islam Indonesia, sangat toleran. Tak ada yang protes Misa Akbar disiarkan langsung di TV. Sebaliknya, saya yakin, Paus Fransiskus dan umat Katolik juga sangat toleran, tidak masalah jika Adzan Maghrib tetap dikumandangkan di tv.
Permasalahannya ada di Kementerian Agama, Kemenkominfo yang mewakili pemerintah Indonesia. Cenderung lebay dan berlebihan. Buat gerakan tambahan yang sama sekali tidak substantif hanya untuk nunjukin ke Paus Fransiskus terkait tingginya toleransi umat beragama di Indonesia.
Sampai harus merekayasa keadaan dengan cara menghilangkan suara adzan, diganti running text. Apa urgensinya terhadap toleransi umat beragama, secara teori dan praktik?
Mereka mengatakan, adzan diganti running text, hal yang biasa. Tidak perlu dipermasalahkan. Misalnya, saat live tayangan sepakbola atau motoGP, seringkali Adzan diganti running text.
Beda konteks antara Bola, motoGP dan kedatangan Paus. Ini menyangkut kearifan lokal masyarakat Indonesia yang mayoritasnya muslim. Azan adalah bagian dari tradisi keagamaan, sangat sensitif. Kalau pembatasan azan dibenturkan langsung dengan kedatangan Paus yang tujuannya untuk mensukseskan perayaan misa akbar, tentu sangat sensitif, adu domba, provokatif.
Memiliki potensi ekses negatif, konflik narasi di media sosial, provokasi kohesi sosial antar umat beragama. Ujungnya, pemberitaan yang tidak enak soal respon nitizen akan sampai juga ke Paus Fransiskus. Kunjungan kali ini ke Indonesia justru menimbulkan kontroversi umat beragama.
Paus itu dikenal sebagai salah satu tokoh populer toleransi dan perdamaian global. Beliau pasti tidak sepakat kalau suara Adzan diganti running text untuk suksesi Misa Akbar. Beliau pasti paham kebijakan itu bukanlah wujud toleransi.
Pemerintah Indonesia saja yang pecicilan...(*)