He Was Amazing
Penguasa Arab Saudi, Raja Faisal Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Saud, dikenal sebagai musuh Israel. Raja yang memerintah Arab Saudi pada 1964 sampai 1975 ini sangat getol mendukung rakyat Palestina dalam membela tanah airnya.
Bahkan, pada 1973, dengan keteguhan dan keberaniannya Raja Faisal bersama dengan para pemimpin Arab lainnya memberlakukan embargo minyak terhadap negara-negara Barat yang mendukung Israel selama Perang Oktober. Akibatnya, Amerika Serikat mengancam akan menggunakan kekerasan terhadap Arab Saudi.
Dalam sebuah wawancara dengan Asharq Al-Awsat, mantan kepala intelijen Arab Saudi yang juga pernah menjabat sebagai duta besar untuk London dan Washington DC, Pangeran Turki Al-Faisal, menjelaskan peristiwa penting yang terjadi selama pemerintahan ayahnya.
Pangeran Turki Al-Faisal, yang menjadi penasihat di Istana Kerajaan pada 1973, ketika Raja Faisal mengambil keputusan embargo minyak, mengatakan bahwa raja tidak terguncang oleh ancaman AS dan tetap teguh.
Menurut Pangeran Turki, embargo minyak berperan penting dalam mendorong AS menemukan solusi cepat dan adil terhadap konflik Arab-Israel.
“Raja Faisal dan para pemimpin Arab lainnya terpaksa mengambil keputusan tersebut karena dukungan Amerika yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel selama perang,” ujar Pangeran Turki dilansir dari Arabnews, Selasa (14/11/2023).
Dia menambahkan, para pejabat Amerika berbicara tentang kemungkinan menyerang ladang minyak Saudi, seperti yang diberitakan sebuah surat kabar AS. Beberapa pernyataan tersebut datang dari Menteri Luar Negeri AS yang saat itu dijabat oleh Henry Kissinger.
Pangeran Turki mengatakan, ayahnya yang saat itu berada di Jeddah, menerima telegram dari Kissinger yang memperingatkan bahwa jika Kerajaan tidak mencabut embargo, AS akan mengambil semua tindakan untuk melindungi kepentingannya.
“Pesannya tidak spesifik mengenai tindakan yang akan mereka ambil, namun nampaknya mereka akan menggunakan kekerasan. Seorang perwakilan CIA memberi saya pesan tak bertanda tangan itu, memberitahukan bahwa pesan itu dari Kissinger...Saya menemui raja dan menyampaikan isinya. Dia menerima pesan tersebut, membacanya dan berkata: 'Khair insya Allah' (Kita baik-baik saja, Insya Allah)," kata Pengeran Turki.
Menurut dia, sangat jelas bahwa ancaman itu datang dari pemerintah Amerika. Namun, kata dia, ayahnya menanggapinya sangat santai, ceria, dan humoris. Raja Faisal tetap bersemangat meskipun ada ancaman seperti itu.
"Ini mencerminkan kualitas dan tekadnya yang tinggi. Dia menyampaikan pesan bahwa Kerajaan Arab Saudi tidak akan tunduk pada ancaman, sebagai akibat dari keputusan yang diambilnya bersama negara-negara Arab lainnya. Itu adalah jawaban yang bagus,” kata Pangeran Turki.
Pangeran Turki mengatakan, embargo tersebut diumumkan setelah Perang Oktober (juga dikenal sebagai Perang Ramadhan) ketika masyarakat AS kekurangan minyak. Embargo inilah yang menjadi sebab utama di balik krisis minyak bumi 1973.
Sebelum mengumumkan embargo, kata Pengaeran Turki, Raja Faisal juga telah memperingatkan AS terhadap dukungannya yang tidak memenuhi syarat kepada Israel, dan memberikan senjata kepada negara Yahudi tersebut.
Ketika ditanya apakah ia menganggap embargo yang dilakukan ayahnya itu benar atau salah, Pangeran Turki menjawab:
“Saya bukan orang yang bisa berkomentar; tindakan itu berbicara sendiri. Tidak ada keraguan bahwa situasi ini memerlukan keputusan seperti itu, karena AS sepenuhnya berpihak pada Israel selama Perang Ramadhan dengan memberikan senjata kepada negara Yahudi tersebut," ujar Pangeran Turki
Dia menambahkan, Raja Faisal telah memperingatkan AS sebelum perang dan mengangkat isu Israel yang menduduki tanah Palestina. Ia juga menekankan perlunya Israel menarik diri dari wilayah Arab yang didudukinya setelah Perang 1967.
“Sebelum Perang Ramadhan, Raja Faisal telah menciptakan opini publik bahwa dukungan AS terhadap Israel akan berdampak negatif. Raja, bersama para pemimpin Arab lainnya, kemudian mengambil keputusan untuk memboikot minyak. Hal ini mempengaruhi peristiwa serta kebijakan AS terhadap negara-negara Arab,” kata Pangeran Turki.
Dia menuturkan, AS mencoba menyelesaikan krisis tersebut dan Kissinger mengunjungi wilayah tersebut sekitar 10 kali untuk mencapai solusi, karena AS melihat bahwa kepentingannya adalah mencapai penyelesaian damai.
"Presiden Nixon kemudian berbicara tentang solusi yang adil terhadap masalah Timur Tengah. Kemudian, para pemimpin Amerika lainnya juga mempresentasikan proyek dan solusi untuk menyelesaikan konflik Arab-Israel. Bagi saya, embargo tersebut efektif dalam meningkatkan proses perdamaian Timur Tengah dan membuat proposal baru untuk menyelesaikan masalah Palestina," kata Pengeran Turki. (*)