Salafus Shalih Pantang Inferior
Oleh: Ustadz Anshari Taslim
Salah satu rekaman sejarah dalam Perang Khandaq adalah ketika Rasulullah saw berinisiatif untuk berdamai dengan suku Ghathafan dengan membayar kepada mereka kurma agar mereka tidak ikut bersama pasukan Quraisy yang akan menyerang Madinah. Tetapi Rasulullah saw bermusyawarah dulu dengan para petinggi Aus dan Khazraj. Salah satunya adalah Sa'd bin Mu'adz RA.
Sa'd bertanya, “Ya Rasulullah, ini wahyu dari Allah atau pendapat pribadi Anda?”
Rasulullah menjawab, “Ini pendapat pribadi, kalau wahyu aku tak mungkin musyawarah lagi. Bukan apa-apa, aku melihat mereka semakin kuat, jadi aku ingin memecah pasukan mereka sedapat mungkin.”
Maka Sa'd bin Mu'adz pun berkata,
“Ya Rasulullah, kami dulu kaum yang menyekutukan Allah dan menyembah berhala, tak menyembah Allah dan tak mengenal-Nya. Tetapi pada saat itu pun orang-orang Ghathafan itu tak akan bisa mengambil makanan kami kecuali melalui jual-beli atau mereka bertamu. Apakah setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan menguatkan kami dengan keberadaanmu dan Islam, kami malah harus menyerahkan makanan kami begitu saja kepada mereka? Demi Allah, kami tidak butuh itu, dan hanya bahasa pedang yang akan kami jawab untuk mereka.”
Mendengar itu, Rasulullah saw membatalkan rencana berdamai dengan Ghathafan dan memilih pendapat Sa'd bin Mu'adz.
Perhatikan, wahai pengikut salaf. Perkataan Sa'd bin Mu'adz ini menunjukkan betapa orang kalau sudah menjadi Islam itu pantang bersifat inferior alias pengecut, merasa lemah, sehingga membuka jalan kepada musuh untuk kurang ajar kepada Islam dan kaum muslimin. “Masak ketika syirik gagah perkasa, saat masuk Islam malah jadi lemah?” Begitulah kira-kira konsep Sa'd bin Mu'adz yang kemudian disetujui oleh Rasulullah.
Jadi, kalau ada orang yang mengaku-aku pengikut salaf tetapi mentalnya inferior, maka dia tak mengerti manhaj salaf dalam hal izzah dan harga diri Islam. Ini sama sekali bukan menegasikan perdamaian dalam syariat Islam. Sebab, berdamai pun adalah jalan yang dibolehkan dalam syariat. Tetapi hikmah dari keputusan Mu’adz yang sudah disetujui oleh Allah dan Rasulullah itu adalah memberi pesan dan peringatan bahwa Islam itu berwibawa, pantang inferior, dengan prinsip: الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى (Islam itu superior bukan inferior).
Riwayat kisah ini ada dalam Sirah Ibni Hisyam, Tarikh Ath-Thabari, Thabaqat Ibnu Sa'd, riwayat marfu' ada dalam Al'Mu'jam Al-Kabir Ath-thabarani dan Musnad Al-Bazzar dengan sanad yang hasan.
(Sumber: Sabili)