Pada abad ke-13, ada seorang rahib pemberani dari Assisi di wilayah Italia saat ini. Di tengah serangan pasukan salib gelombang ke-5, ia bersikeras menemui Sultan Ayyubiyah, Malik al-Kamil di Mesir. Rahib itu disambut oleh sang sultan. Mereka berdialog lama soal agama masing-masing.
Pada akhirnya, keduanya berdamai dalam ketidaksepakatan. Rahib tersebut kemudian diantar pulang dengan rupa-rupa hadiah dan jaminan perlindungan.
Kunjungan dan pertemuan itu disebut sejumlah sejarawan dan rohaniawan Katolik memiliki dampak signifikan bagi sang rahib. Adzan yang ia dengar selama di Mesir menginspirasinya menuliskan surat kepada para pemimpin di Eropa untuk membunyikan tanda menjelang malam agar umat Kristiani bisa berdoa dan mensyukuri nikmat Tuhan.
Cara shalat umat Islam yang ia saksikan juga demikian berkesan. “Jika mendengar nama Tuhan, jatuhkan tubuhmu ke tanah dan pujilah Dia dengan rasa takut dan penghormatan,” ia menulis.
Ia juga menuliskan sebuah doa yang terinspirasi dari Asmaul Husna. “Engkaulah Yang Maha Suci, Tuhan Yang Esa… Engkau Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa… Kebaikan Tertinggi... Engkau Maha Mencintai, Maha Mengetahui, Engkau Pemberi Kesederhanaan, Engkau Maha Hidup. Engkau Pemberi Kedamaian…”
Rahib itu bernama Fransiskus. Ia kemudian dikanonkan sebagai santo pada 1228, hanya sembilan tahun selepas kunjungannya ke Mesir. Ia jadi patron orang-orang miskin dan terbuang.
800 tahun setelah itu, Jorge Mario Bergoglio yang terpilih menjadi paus pada 2011 memilih menggunakan namanya. Bukan kebetulan agaknya, Paus Fransiskus juga adalah salah satu paus yang paling simpatik terhadap Islam…
(Fitriyan Zamzami)