Seorang anak pejabat dipanggil KPK karena dicurigai telah menerima gratifikasi dari seorang pengusaha.
"Saya nebeng doang, Pak. Jadi gak bisa disebut gratifikasi."
"Yang punya pesawat ikut ke Amerika?"
"Enggak ikut, dong. Kalau ikut ntar dibilang kolusi."
"Nebeng tapi yang punya gak ikut? Kamu ngerti arti nebeng gak sih?"
"Beneran nebeng, Pak. Soalnya pesawatnya kebetulan mau ke Amerika. Karena perjalannya searah, saya diajak."
"Searah sama siapa maksudnya? Kan yang punya pesawat gak ikut."
"Searah sama pesawatnya, Pak."
"Ngapain pesawatnya doang yang ke Amerika, sementara yang punya gak ikut? Itu namanya nganter, bukan nebeng."
"Mau nganter, mau nebeng, ya gak ngaruh, Pak, gak bisa disebut gratifikasi. Saya kan bukan pejabat negara."
"Kamu emang bukan pejabat. Bapakmu yang pejabat. Karena kamu mendapatkan fasilitas negara seperti pengawalan pribadi, tunjangan, dan sebagainya karena status bapakmu, maka semua pemberian ke keluarga bapakmu yang berpotensi memberi keuntungan pihak pemberi disebut gratifikasi."
Di atas adalah investigasi khayalan.
Yang nyata yang ini:
Seorang anak pejabat dengan sukarela menghadap KPK untuk mengklarifikasi kasus gratifikasi karena KPK tidak punya nyali untuk memanggil. Sekalian untuk mencitrakan kalau si anak pejabat adalah sosok yang bersih.
"Saya nebeng doang, Pak. Jadi gak bisa disebut gratifikasi."
"Betul juga ya. Berarti tuduhan gratifikasi dari orang-orang yang masih sakit hati karena kalah Pilpres itu tidak benar."
"Ya udah, Dik Pisang boleh pulang sekarang. Sekalian kami minta maaf telah merepotkan Dik Pisang. Mau nebeng, gak? Kebetulan Alphard KPK nanti mau lewat rumah Dik Pisang."
(WENDRA SETIAWAN)