Yang realistis itu, bukan menyuruh para ustadz untuk berbisnis. Karena:
1. Tidak semua ustadz punya kemampuan bisnis,
2. Bisnis butuh belajar dan meluangkan waktu, yang dapat menyita waktu belajar dan mengajarnya para ustadz,
3. Para pengusaha pun pasti akan kesulitan kalau mesti diajak menjadi seorang ustadz. Jadi, kalau ada sebagian pengusaha bilang "ustadz harus jadi pengusaha", maka konsekuensinya, perkataan tersebut bisa kita balik, "pengusaha harus jadi ustadz beneran yang jago bahasa Arab, belajar ushul fikih dan tafsir", tapi berapa banyak pengusaha yang sanggup menjalani pembelajaran seperti itu?
Karenanya jangan salahkan para ustadz, saat mereka sibuk dengan bisnis dan usaha, kemudian sebagian jamaahnya menjadi terlantar. Ilmunya menjadi lambat berkembang, dan karyanya menjadi tersendat. Memangnya kalian pikir setiap orang sanggup menjalani usaha dan bisnis sambil tertatih-tatih dalam ilmu dan dakwah?
Maka yang paling logis adalah para pengusaha tetap berbisnis dan para ustadz tetap belajar dan mengajar. Kalau kalian para pebisnis dan pengusaha tidak suka para ustadz menerima amplop, maka solusinya adalah kalian berikan sebagian saham perusahaan kalian pada para ustadz yang membutuhkan. Sehingga para ustadz bisa fokus dalam ilmu tanpa menerima amplop dari jamaah!
Kalau kalian para pengusaha tidak bisa melakukannya, maka lebih baik diam, tidak perlu menyuruh para ustadz berbisnis dan jadi pengusaha juga. Karena seperti yang tadi disampaikan, toh kalian juga pasti merasa berat kalau tiba-tiba harus menjalani kehidupan menjadi ustadz yang sibuk dalam ilmu dan meninggalkan sebagian bisnis kalian!
(Oleh: Muhammad Laili Al-Fadhli)