𝐌𝐞𝐧𝐝𝐨𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐇𝐢𝐝𝐚̄𝐲𝐚𝐡 𝐀𝐭𝐚𝐬 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐮𝐚𝐬𝐚 𝐋𝐚𝐥𝐢𝐦?
Oleh: Arsyad Syahrial
Bagaimana dengan mendoakan hidāyah untuk penguasa lalim?
Pertanyaan ini muncul karena sering digadang-gadangkan kalimat: "Kalau kau cela pemimpinmu, apakah pemimpinmu akan berubah? Tidak, takkan berubah! Tetapi kalau kau doakan pemimpinmu, maka Allōh ﷻ Maha Bisa mengubah pemimpinmu! Lalu kenapa tak kau doakan pemimpinmu?"
Kalimat itu biasanya disambung dengan mengambil dalil bahwasanya Baginda Nabī ﷺ dulu pernah mendoakan agar salah satu dari dua Umar (Umar Bin Khatthab atau Amr bin Hisyam/Abu Jahal) agar masuk Islam.
Seperti biasa pertanyaannya adalah: apakah tepat kalimat dan pendalīlan yang demikian❓
Pertama-tama tentunya mendoakan orang kāfir semisal: "Semoga ia dapat hidāyah", atau: "Semoga ia berubah jadi baik", itu tak pernah ada larangannya secara spesifik. Apalagi perkara hidāyah itu adalah Allōh ﷻ yang Maha Kuasa kepada siapa diberikan-Nya, dan Allōh ﷻ memberikan hidāyah kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Akan tetapi kalau kita pelajari siroh Nabawiyyah dengan baik, maka pertanyaanya adalah: Apakah pernah Baginda Nabī ﷺ mendo'akan penguasa yang jahat yang lalim lagi bejat?
Maka perhatikan beberapa poin berikut ini:
(1) Baginda Nabī ﷺ ketika mendoakan hidāyah untuk salah satu dari dua Umar, maka pada saat itu kaum Muslimīn masih dalam keadaan lemah, penganutnya masih sedikit (jumlahnya minoritas) di kota Makkah.
Doa Baginda Nabī ﷺ itu pun tidaklah diungkap oleh Nabī ﷺ ke muka umum, dan Nabī tak pernah menceritakan doanya kepada para Ṣoḥābat sebelum Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb benar-benar telah masuk Islām.
Sementara, mendoakan hidāyah kepada penguasa lalim yang sangat jelas keberpihakannya kepada kaum Kuffār, maka itu sungguh-sungguh merendahkan harkat dan martabat kaum Muslimīn…!
Mengumumkan (apalagi menyebar video dan tulisan di sosmed) agar ummat Islām mendoakan penguasa lalim itu sangatlah tidak bijak. Itu malah membuat kaum Kuffār dan para pendukungnya dari kaum Munāfiqīn jadi makin jumawa. Mereka jadi makin sombong karena merasa: "Tuh kan?!? Ummat Islām ternyata takut dan mereka butuh sekali terhadap gue, sampai-sampai memelas dan mengemis-ngemis agar gue benar-benar masuk Islām!"
(2) Tak semua pembesar kāfir itu didoakan oleh Baginda Nabī ﷺ.
Iya, sebab:
- Baginda Nabī ﷺ tak mendoakan kebaikan atas Ka`b ibn al-Aṡrof (seorang pembesar Yahūdi Banī an-Naḍīr), bahkan di dalam suatu riwayat Baginda Nabī ﷺ berkata:
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Siapakah yang bersedia membunuh Ka`b ibn al-Aṡrof? Karena ia telah menyakiti Allōh dan Rosūl-Nya.” [HR al-Buḳōriyy no 2510, 3031, 3032, 4037; Muslim no 1801; Abū Dāwūd no 2768].
- Ketika Baginda Nabī ﷺ mendengar surat yang Beliau ﷺ yang kirimkan kepada Ḳosrou (Raja Persia) ternyata malah dicabik-cabik, maka Baginda Nabī ﷺ justru mendoakan:
أَنْ يُمَزَّقُوا كُلَّ مُمَزَّقٍ
“(Semoga Allōh) Merobek-robek (kerajaan Ḳosrou) dan menghancurkannya sehancur-hancurnya!” [HR al-Buḳōriyy no 64, 2939, 4424, 7264; Aḥmad no 2075, 2644].
Bahkan, Abu Sufyan bin Ḥarb yang merupakan salah satu pemimpin kaum Qurays sekaligus juga mertua Baginda Nabī ﷺ pun tak ada riwayat yang ṣoḥīḥ bahwa Baginda Nabī ﷺ pernah mendoakan hidāyah untuknya.
Kalau penguasa lalim tak perlu didoakan hidāyah, maka apa yang seharusnya dilakukan❓
Di dalam Syaruat Islam , seorang muslim yang ẓōlim itu seharusnya 'ditolong' sebagaimana kata Baginda Nabī ﷺ di dalam suatu riwayat:
ٱنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudaramu yang berbuat ẓōlim dan yang diẓōlimi.”
Kemudian ada seorang Sahabat bertanya tentang bagaimana caranya menolong orang yang berbuat zalim, yang dijawab oleh Baginda Nabī ﷺ:
تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ ٱلظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
“Kamu cegah ia dari berbuat keẓōliman, maka sungguh kamu telah menolongnya.”
[HR al-Buḳōriyy no 6952; Muslim no 2584; at-Tirmiżiyy no 2255; Aḥmad no 11511, 12606, 13943; ad-Dārimiyy no 2795].
Baginda Nabī ﷺ memerintahkan ummatnya untuk MENCEGAH saudara sesama muslim dari berbuat keẓōliman, yang mana itu adalah sebagai bentuk dari "menolong"nya. Maka tentunya seorang penguasa yang kalau dianggap masih muslim yang berlaku lalim itu lebih berhak lagi untuk ditolong oleh saudara muslimnya, bukan?
Bentuk menolongnya tentu adalah dengan melakukan tindakan amar ma`rūf nahyi munkar, yaitu antara lain dengan menasihatinya, baik secara langsung ataupun secara terbuka.
Adapun membiarkan seorang penguasa lalim untuk terus berbuat keẓōliman dengan alasan: "Toh ia sudah didoakan keburukan oleh Nabī", atau berpikir: "Kan sudah ada pemuka-pemuka agama yang menasihatinya secara 4 mata?", maka itu artinya malah tidak menolongnya dan tidak menginginkan kebaikannya baginya!
Padahal kata Baginda Nabī ﷺ:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah (sempurna) berīmānnya seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya sendiri.”
[HR al-Buḳōriyy no 13; Muslim no 45; at-Tirmiżiyy no 2705; an-Nasā-iyy no 5016, 5017, 5039; Mālik no 69].
Apabila tak mampu melakukan dengan tindakan nyata, maka lakukanlah dengan perkataan lisan atau tulisan, misalnya dengan melakukan nasihat / kritik dengan tulisan.
Jika tak mampu juga, maka dengan mendoakan agar si penguasa segera turun / diganti dengan orang yang lebih darinya.
Seorang penguasa muslim yang lalim itu harus didoakan agar segera turun / diganti, karena jika ia dibiarkan terus berkuasa dan berbuat keẓōliman, maka itu artinya ia akan terus menumpuk-numpuk dosa dari perbuatan lalimnya itu.
Penguasa itu sangat berpengaruh terhadap keadaan rakyat yang dipimpinnya, karena setiap kebijakannya pasti akan berdampak terhadap rakyatnya
Demikian, semoga dapat dipahami.