Ketika Poligami Tak Seindah Harapan
Oleh: Abu Zaid R
Sobat, kisah ini merupakan kisah nyata yang saya ceritakan kembali dengan bahasa ringkas dan simpel. Tanpa menghadirkan belitan emosi dan rasa membuncah dalam setiap peristiwanya. Namun percayalah bahwa kisah ini sungguh membuat hati teriris.
Demikianlah kisahnya secara ringkas moga menjadi pelajaran khususnya bagi para suami yang bersungguh-sungguh berniat melakukan poligami agar melakukannya dengan proses yang tepat dan benar menuju poligami sakinah.
Ada seorang bapak usia 50-an menjelang pensiun. Dia sangat ingin berpoligami. Dia memiliki seorang istri dan 3 orang anak yang sudah dewasa. Dengan pekerjaan yang baik sehingga insyaallah mampu menafkahi dua istri. Artinya dari segi harta insyaallah bisa diatur.
Suatu hari dia mengutarakan niatnya pada saat ngobrol bersama guru dan sahabat sahabatnya. Sang guru yang telah akrab dengan muridnya ini tak setuju atas niat murid untuk poligami. Sang guru berujar singkat...jangan. Kemudian murid itu bertanya mengapa? Tapi sang guru hanya menjawab sudahlah percaya saja ke saya. Kamu ga cocok berpoligami.
Sang murid pun diam ditingkahi rasa heran dari sahabat-sahabatnya mengapa sang guru tak setuju. Kemudian sang guru berujar sambil bercanda... bisa bisa nanti kamu diusir dari rumah hanya dengan kolor doang....
Waktupun berlalu beberapa tahun lamanya. Dia pun tak pernah lagi menyinggung tentang niatnya itu. Dan sang guru pun tak lagi bertanya.
Namun rupanya diam-diam dia menikah lagi dengan istri kedua tanpa sepengetahuan siapapun baik istri pertamanya, gurunya dan sahabat sahabat nya.
Dan selang beberapa waktu kemudian sang guru mengontak dia untuk urusan dakwah yang berujung curhat dari dia kepada gurunya.
Intinya, setelah istri pertamanya sangat marah dan kecewa saat tahu dia dipoligami. Dan tak mau menerima meskipun tak minta cerai. Istri pertama yang kecewa itu tak mau lagi bergaul dengan baik dengan dia. Jika pulang ke rumah istri pertamanya hanya menyiapkan makan dll tanpa mau disentuh. Tentu saja dia kecewa namun sadar diri bahwa ini memang salahnya. Maka dia berupaya sabar. Sang guru pun menasehatinya bahwa dia sebagai suami yang ga mampu memperlakukan kedua istri dengan baik. Itulah mengapa dulu sang guru melarangnya. Dia baru faham maksud sang guru.
Berlalunya waktu tak membuat hubungan dengan isteri pertamanya membaik. Justru memburuk. Akhirnya dia pun menceraikan istri pertama dengan segala harta menjadi milik istri pertama rumah, kendaraan, dll. Sehingga tepat seperti kata sang guru dia nyaris keluar rumah hanya dengan pakaian saja. Dia akhirnya hanya bersama istri keduanya.
Beberapa tahun kemudian, setelah tak ada kabar berita, sang guru pun kembali menghubungi dia. Dan betapa kagetnya sang guru bahwa ternyata istri kedua pun akhirnya meninggalkan dia tanpa penjelasan apapun.
Kemudian dia di masa tuanya memilih pulkam ke kampung halaman dan menikah lagi dengan istri baru untuk upaya membangun rumah tangga bahagia nya berikutnya. Alhamdulillah nya anak anak dari istri pertamanya sudah bisa menerima bapaknya dengan baik meskipun ibu mereka tetap tak mau kembali bersama sebagai sebuah keluarga.
Demikian kisah ringkas ini. Dan kejadian semacam ini sangat sering terjadi. Masih ada beberapa kisah lain yang tak kalah tragisnya. Mungkin suatu saat bisa kita baca bersama.
Ada juga pesan jangan abaikan nasehat guru. Apalagi guru yang mengajar dan mendidik kita tanpa bayaran apapun. Mendampingi kita menempuh kehidupan perjuangan menegakkan Islam. Sebab, guru seperti itu sangat memahami siapa kita dan insyaallah beliau juga memiliki intuisi yang tajam selain ilmu yang mumpuni. Juga pelajaran bahwa tidak semua laki laki mampu memimpin dua rumah tangga meskipun dia memiliki uang yang cukup untuk menafkahi.
Oleh karena itulah mengapa saya menulis serial tulisan poligami sakinah. Sebagai upaya kecil untuk mengurangi terjadinya keluarga kita hancur karena kesalahan yang kita sengaja lakukan sendiri.
Poligami memang mubah namun untuk mewujudkannya secara sakinah dalam 'sistem jahiliyah' ini tidaklah mudah.
Semoga kita bisa lebih baik dalam berjuang menjadi kepala keluarga ayah dan suami yang dewasa sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab ditengah tugas perjuangan yang tidak ringan ini.
Selamat berjuang sobat.... Allahu Akbar!
(fb penulis)