Benar tidak harus ilmiah
Ambil contoh, seseorang bernama samaran "Guru Gemblung" meyakini bahwa ia lahir dari hubungan sah antara Pak Cilok dan Bu Cimol.
Keyakinan itu diambil dari kenyataan bahwa dia anak ke-2 dari Pak Cilok dan Bu Cimol. Meskipun dia tidak ingat bagaimana dia dilahirkan, tapi sejak kecil sampai saat ini, banyak orang di sekitarnya mengatakan bahwa Guru Gemblung lahir dari Bu Cimol, istri Pak Cilok.
Apakah keyakinan ini ilmiah? Jawabnya TIDAK, sejauh belum teruji dengan test DNA.
Tapi, apakah dia boleh tetap meyakini bahwa ia anak Pak Cilok dan Bu Cimol meskipun tidak ilmiah? Jawabnya IYA.
Alasannya karena bukti ilmiah bukan satu-satunya bukti. Ada alasan rasional. Puluhan informasi dari banyak orang yang konsisten selama bertahun-tahun, secara akal, menunjukkan kebenaran. Inilah yang membuat Guru Gemblung percaya bahwa dia anak dari kedua orang tuanya.
Bahwa sekarang dia punya keimanan bahwa "hanya kebenaran ilmiah yang bisa dipercaya", maka itu hanya sikap "sok-sok-an" untuk menghantam agama, yang -sadar atau tidak- dia sendiri tidak mengamalkannya secara konsisten.
Dia tidak pernah mengatakan, "Saya tidak tahu apakah saya benar-benar anak kedua orang tua saya, karena saya belum pernah melakukan tes DNA."
Itulah yang membuat sebagian ahli di luar ilmu alam, seperti sejarah, berusaha lepas dari penghakiman metodologi ilmiah dalam ilmu-ilmu alam (yang harus diuji secara eksperimental) dan mencari jalan sendiri dalam penelitian-penelitian guna memahami manusia, Geisteswissenschaften.
(Oleh: Ramane Ranu)
*sumber: fb penulis