Jangan mau dibodohin
Dear netizen,
Kita itu tentu harus menghormati pemimpin. Selain karena mereka biasanya lebih tua dibanding kita, mereka juga adalah pilihan mayoritas.
Tapi sorry, ada batasnya. Karena tidak semua pemimpin itu memang berjiwa pemimpin. Ada yang tidak bisa dipegang omongannya.
Nah, membedakan antara pemimpin yang betulan pemimpin, dengan yang hanya pintar retorika itu guampang banget. Apalagi dari aspek pemberantasan korupsi. Lebih mudah lagi.
Kamu catat baik-baik:
1. Pemimpin yang pidato akan memberantas korupsi tapi tidak mau menghapus REMISI koruptor, maka dia jelas retorika saja.
Menghapus remisi koruptor itu gampang banget. Cukup selembar kertas, dia tanda tangan, beres. Kemenkumham harus nurut dengan presiden. Sekali keluar itu surat, 2000 lebih koruptor di Indonesia gigit jari. Tidak perlu anggaran serupiah pun loh bikin surat ini. Tidak perlu capek-capek juga. Cuma selembar kertas. Bisa, nggak? Ya Allah, apa susahnya coba? Tapi 10 tahun berlalu, apa yang terjadi? Dan naga-naganya, remisi koruptor akan terus diberikan di periode 2024-2029, diskon 50% lebih. Kalau UU Perampasan Aset susah, karena harus persetujuan dengan DPR, maka menghapus remisi itu cukup Presiden.
2. Cara kedua melihatnya adalah dengan: Pemimpin yang pidato mau melawan korupsi tapi partainya masih mencalonkan napi koruptor sebagai caleg DPRD, DPR, calon walikota, bupati, gubernur.
Silahkan kalian google sana. Pasti nemu logika terbalik ini. Aneh sekali jika pejabat partai ini pidato berapi-api bilang mau memberantas korupsi, eeeh, dia mencalonkan kadernya yang napi korupsi. Astaghfirullah, kalian bisa lihat tidak betapa membingungkan cara berpikirnya?
Cukup dari dua hal ini saja kita bisa menilai seorang pemimpin.
Kita tentu harus menghormati pemimpin. Tapi ayolah, jangan mau terus dibodohin. Atau kalian mau kayak si fufufafa? Dia benar-benar sukses membodohi banyak orang.
(By Tere Liye, penulis novel 'Negeri Para Bedebah')