𝗠𝗲𝗻𝗲𝗹𝗶𝘀𝗶𝗸 𝗣𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂 𝗣𝗲𝗺𝗯𝘂𝗯𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗗𝗶𝘀𝗸𝘂𝘀𝗶 𝗙𝗧𝗔 𝗞𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴, 𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗣𝗿𝗮𝗯𝗼𝘄𝗼 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗧𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹 𝗗𝗶𝗮𝗺
✍🏻 @Naz_lira
Setelah beberapa minggu dibombardir isue dan polemik yang terus menerus menekan anggota keluarga Mulyono, rasa kenyamanan dan ketenangan keluarga kerajaan yang mau lengser ini semakin terusik.
Apalagi pernyataan-pernyataan para tokoh dan aktivis demokrasi, politik, hukum semakin nyaring bergema menyerukan perlawanan dan tuntutan pasca Paduka lengser, kegelisahan dan kemarahan anggota keluarga kerajaan dan klik penjilatnya semakin memuncak menjadi satu.
Pakar komunikasi kerajaan memang sudah berusaha membangun strategi "kontra isue" dengan trik “sit on the back of a bull”, mencoba berayun dipusaran isue dengan bahasa “Kaos”.
Dan dalam waktu singkat kaos-kaos bertuliskan “Putera Sang Raja” atau “Nebeng Private Jet” pun berseliweran. Sebuah upaya menunjukan kepada publik bahwa “Kami santai, tak terpengaruh dan tak terusik”. Sebuah Psy war (perang psikologis), mencoba melawan amukan massa dengan meledeknya.
Tapi rupanya dibelakang panggung tidak begitu ceritanya. Kemarahan jiwa muda para Pangeran muda bergolak. Emosional Quality dari pribadi-pribadi mentah bocah Pangeran yang miskin penguasaan diri nampaknya berbicara lewat aksi-aksi sendiri yang diperkirakan tanpa sepengetahuan Sang Raja.
Maka kebencian dan kemarahan terhadap para tokoh-tokoh yang selama ini giat menyerukan perlawanan meletup tak terbendung. Tawaran dari para Patih penjilat di sirkel terdekat pun diterima cukup dengan ungkapan pendek, “sikat saja”.
Diduga dengan menggunakan arus bawah, terjadilah apa yang pertontonkan pada Publik di kawasan Kemang kemarin. Segerombolan preman beraksi melakukan tindakan kontra demokrasi dengan cara-cara yang paling kasar dan brutal dihadapan mata aparat wilayah setempat.
Publik pun geram, peristiwa yang direkam secara kolektif lewat puluhan perangkat elektronik itu pun memenuhi ratusan media di berbagai platform. Aksi premanisme pun menjadi blunder. Jutaan pasang mata dan telinga pun menerima semua gambar audio visual yang terekam.
Peristiwa yang sangat memalukan itu pada akhirnya mengancam nama baik negara, karena dapat dipastikan tak akan butuh waktu lama untuk media internasional menyiarkannya.
Apa yang terjadi kemudian?
Aparat di tingkat yang lebih tinggi tiba-tiba mengambil tindakan. Para pelaku aksi premanisme brutal langsung dibekuk seketika. Tak sampai disitu, aparat ditingkat bawah pun diusut.
Mengapa aparat di tingkat atas berani melawan rangkaian peristiwa yang diduga ada kekuatan para Pangeran disana? Tentu keberanian tersebut tidak begitu saja muncul tanpa ada dasar kekuatan yang membentenginya.
Hanya ada "satu pihak" saja yang mampu mengendorse munculnya keberanian tersebut. Endorsment dari Presiden Terpilih yang sebentar lagi segera berkuasa.
Aparat dan institusi manapun akan memiliki keberanian jika memperoleh "endorsment" tersebut karena memberi "imunitas" dari rasa takut disingkirkan, dicopot atau didemosi.
Jadi jika dianalisa, maka "endorsement" yang menyebabkan dibekuknya para preman dan aparat yang ikut andil dalam pelanggaran SOP tersebut sejatinya merupakan ekspresi telah terjadinya pergulatan superioritas dari pihak yang akan menanggalkan jubah kekuasaan dan pihak yang akan menduduki singgasana kekuasaan.
Hitungan 20 hari adalah waktu yang terlalu sempit bagi keluarga kerajaan untuk bertingkah polah melanggengkan kekuasaan. Semakin banyak ulah akan semakin banyak perkara yang dituai nantinya. Sudah cukup tumpukan perkara yang harus dipertanggung jawabkan Sang Raja kelak, jangan lagi dibebani perilaku bocah bodoh yang berpotensi “membunuh ibu bapak”. (*)