Oleh: M Anwar Rifa'i
Ketika muncul NU Garis Lurus, NU terbelah. Muncul istilah NU kultural dan NU struktural. Tapi keterbelahan pada saat itu ranahnya perbedaan pandangan hukum. Setajam apapun perdebatan ranahnya masih Ilmu. Dan kita tetap bisa ngobrol ngopi bareng meski barusan debat habis-habisan.
Saya termasuk di barisan kawan-kawan yang mengkritik pandangan dan kebijakan tokoh struktural, dimulai dari kritik tasamuh (toleransi) berlebihan, kecondongan Kyai Said pada Syi'ah, kecondongan beberapa tokoh pada Liberal, pengerahan Banser jaga gereja, pembiaran Banser Dangdutan, hingga puncaknya ajakan mengikuti PBB menggantikan Khilafah.
Memang benar kita bertengkar habis-habisan pada tema itu, tapi sekali lagi pertengkaran itu dalam ranah Ilmu, pertengkaran yang tidak merusak ikatan silaturahim kita bersama, dan pertengkaran semacam itu telah berlangsung sejak awal berdirinya NU. Artinya perdebatan ilmu adalah bagian dari khasanah NU.
Tapi, ketika barisan Geng K. Imad muncul, perdebatan bukan lagi ranah Ilmu. Cacian, makian, dan tuduhan sudah level di luar batas kurang ajar, semua Habaib baik yang alim atau yang jahil dimusuhi dan dicaci habis-habisan. Kalo mereka membenci Habib Bahar, atau Habaib yang dalam ceramahnya ghulluw/berlebihan (yang juga diditentang oleh Habaib alim) saya masih bisa memahami. Tapi ketika yang dimusuhi, yang dibenci, dan difitnah adalah sekelas Habib Taufiq, Habib Syaikh, bahkan Habib Umar bin Hafidz, saya tidak tahu lagi entah setan jenis apa yang merasuk di benak hati mereka.
Bukan hanya kalangan habaib, bahkan ulama sekelas Kyai Miftahul Akhyar pun tidak luput dari cacian dan hinaan mereka hanya karena beliau mengkritik pernyataan K. Imad yang begitu sombong menolak ulama sedunia.
Tidak ada lagi perdebatan sehat, hanya ada permusuhan yang kian hari kian meruncing, membelah dan mewabah dengan sangat cepat dan dahsyat, bahkan memutus silaturahim di mana-mana.
(fb)