BELAJAR DARI DITINGGALKANNYA "PARTAI RUMAH BESAR UMAT ISLAM"
PPP dulu memiliki tagline "rumah besar umat Islam", salah satu partai harapan umat di parlemen era Orde Baru, bahkan pada pemilu 1999, pemilu pertama era reformasi, partai tersebut masih menempati tempat ke-3 dalam pileg 1999.
Lalu, mengapa di pemilu 2024, "rumah besar umat Islam" tersebut akhirnya ditinggalkan oleh umat yang secara historical adalah pendukung sejak lama?
PPP sebagai partai juga telah melewati banyak fase ujian sehingga menyebabkan turun naiknya militansi kekuatan pendukungnya.
Partai besar yang kini bahkan tak mampu melewati batas 4 persen parlimentary threshold, jauh dari "kebesaran" masa lalu.
Fase-fase ujian pernah dilewati, dari konflik pengurusan ganda, tandingan hingga pembegalan di internal pernah terjadi, diluar efek kasus korupsi Ketua Umumnya yang juga pernah menerpa.
Apakah alasan itu yang membuat PPP ditinggalkan?
Sebagai partai lama, fanatisme dan romantisme pendukungnya masih banyak di grassroot namun ternyata itu saja tak cukup untuk menghadapi kemajuan jaman dan besarnya tantangan suara umat itu sendiri.
PPP tak bisa mempertahankan khittah pada akhirnya, serta sistem pengkaderan yang stagnan dan cenderung buntu ditambah rebutan kompetitor satu lapak seperti PKB semakin menambah lemah kekuatan suara partai.
Namun, rumah besar umat Islam tersebut sebenarnya merosot tajam karena ketidakmampuan memanajemen konflik di elite partainya.
Merasa didukung besar umat dan perubahan karakter yang awalnya hadir sebagai penyimbang, hingga keputusan menjadi bagian kekuasaan, membuat para elite partai lengah.
Suara besar umat ternyata memiliki dinamisasi persepsi dan perubahan pilihan.
Kepercayaan diri elite tak didukung suara para generasi baru tumbuh yang kritis.
Paradigma lama atau kolot tak bisa menyesuaikan dengan arus perubahan dan kebutuhan jaman.
Akhirnya rumah besar tersebut pun ditinggalkan.
Haruskah terulang terjadi, rumah besar lain akhirnya ditinggalkan akibat ego sentris paradigma elitenya?
(By Bang DW)