'Menyaksikan' parade sound horeg secara langsung kemarin membuat trauma. Bukan hanya sekedar suara yang memekakkan telinga dan membuat jantung berdebar.
Yang ngadain acara ini adalah desa untuk perayaan hari kemerdekaan. Di desa kami ada 24 RT, dan masing-masing RT mengeluarkan kendaraan sound horeg diikuti dengan para kru. Satu RT ada yang mengeluarkan 3 kendaraan sound.
Para kru ini adalah warga yang dirias sedemikian rupa dan macam. Mereka berjalan di belakang kendaraan sound dengan menari-nari.
Sound horeg ini disewa dengan iuran warga dengan harga yang wow, kalau dirata 5 jutaaan/kendaraan. Belum ditambah aksesoris dam konsumsi peserta.
Acara berlangsung mulai jam 9 nan. Ketika adzan Dhuhur sampai shalat berakhir, kru meng-offkan soundnya. Sementara kru penari tetap berada di samping persis mushalla. Begitu salam, musik kembali menghentak diikuti tarian.
Yang lebih mengenaskan adalah waktu Asar, kru hanya mengoffkan di waktu azan, dan memutar kembali musiknya ketika azan berakhir. Jadi dalam kondisi jamaah shalat, musik berdentum keras di samping mushalla lengkap dengan jogedan para penarinya.
Dalam kondisi ini, demi Allah ana betul-betul merasa ketakutan dengan kekurangan ajaran mereka. Terbersit: "Kalau sampai azab Allah datang, maka sangat wajar."
Hasbunallah wa ni'mal wakil.
(Ihsanul Faruqi)