Antiklimaks IKN
Oleh: Sulfikar Amir
PROFESOR James Scott, ilmuwan sosial terkenal dari Amerika Serikat yang baru saja wafat, menulis dalam karya seminalnya, Seeing Like a State: “The ideology of high modernism provides, as it were, the desire; the modern state provides the means of acting on that desire; and the incapacitated civil society provides the leveled terrain on which to build (dis)utopias.”
Scott mengupas secara kritis proyek-proyek skala besar yang menjadi program pembangunan nasional di berbagai negara.
Kutipan Scott menohok setiap pemimpin negara yang memiliki nafsu begitu besar mencapai modernisme. Sebab, nafsu itu biasanya menjadi ilusi yang mendorong ketergesaan mengejar transformasi dalam sistem produksi dan industri, organisasi dan birokrasi, tata ruang dan perkotaan, juga lingkungan. Karena cara pandang yang cenderung sempit, nafsu besar para penguasa negara hanya menciptakan distopia jangka panjang yang mengerdilkan dan menyengsarakan masyarakat sipil.
Distopia ini yang sedang dikejar Presiden Joko Widodo dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Ada dua landasan utopis yang menjadi dasar logika Jokowi untuk mewujudkan ambisinya membangun IKN dalam waktu yang begitu singkat.
Pertama, Indonesia ia anggap membutuhkan ibu kota yang tepat berada di tengah wilayah. Ibu kota baru ini harus sempurna dan merefleksikan kemajuan peradaban tanpa kemiskinan dan kekumuhan. Secara psikopolitik, IKN adalah upaya menghapus sejarah kolonialisme dengan menciptakan budaya “kolonialisme” baru, sebuah perilaku pascakolonial yang oleh Homi Bhabha disebut sebagai mimikri.
Kedua, Jokowi meletakkan IKN sebagai puncak semua prestasi politik yang ia bangun sejak menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah. IKN adalah “closure” (penutup) petualangan politik Jokowi. Dari kota karier politik dia berawal dan di kota pula ia ingin mengakhirinya. Di situ dia menorehkan namanya dalam sejarah politik Indonesia yang berbentuk ruang urban. Apakah proses membangun kota butuh waktu 10, 20, atau 100 tahun, Jokowi tidak peduli. Keinginannya cuma satu: berkantor di istana baru dan merayakan 17 Agustus 2024 di IKN sebagai momen historis terpenting yang menandai keberhasilannya memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara.
Hasilnya antiklimaks. Semua keinginan Jokowi yang harus terwujud dalam dua tahun ternyata tak terpenuhi karena kondisi IKN jauh dari siap. Apa yang salah?
Sosiolog Peter Saunders mengungkap sejarah kota-kota besar di dunia yang tidak lepas dari pergulatan politik dan kuasa. Itulah esensi politik urban (urban politics) yang selalu hadir dalam proses pembangunan sistem urban. Fungsi demokrasi menguat ketika politik urban terbentuk oleh kontestasi berbagai kepentingan. Bukti empiris menunjukkan, makin demokratis suatu kota, makin tinggi tingkat kelayakan hidup kota tersebut.
Aksioma ini tidak berlaku buat IKN. Sebaliknya, IKN adalah proyek antidemokrasi dengan tingkat kegagalan tinggi untuk menghadirkan ruang urban yang menghidupi warganya. Pembangunan IKN adalah sebuah proyek yang penuh paradoks ketika kita membongkar secara saksama keputusan membangun ibu kota baru di tengah hutan yang dibuat dan dilegitimasi seakan-akan sudah demokratis, padahal lahir dari sikap otoriter. Setidaknya ada tiga cacat demokrasi yang menempel di wajah IKN.
Pertama, pembangunan IKN adalah keputusan personal yang menghindari ruang politik. IKN tidak pernah menjadi janji politik Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden. Jokowi tidak sejujur Juscelino Kubitschek, Presiden Brasil yang memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960 karena janji kampanye tiga tahun sebelumnya. Jangankan mengajak publik berdiskusi dan berdebat, Jokowi memanfaatkan kendalinya atas Dewan Perwakilan Rakyat melegitimasi proyek IKN sebagai perintah undang-undang. Hasilnya adalah produk legislasi yang instan dan didasarkan pada naskah akademik yang problematik.
Proses di DPR adalah cacat kedua. Undang-Undang IKN disahkan hanya dalam waktu 43 hari tanpa proses partisipasi bermakna. Tidak ada diskusi terbuka dengan semua pemangku kepentingan, tak ada konsultasi yang substansial dengan pakar dari berbagai bidang, tak ada pula hitungan-hitungan matang atas risiko dan manfaat pemindahan ibu kota. Bahkan diskusi mengenai opsi-opsi pemindahan ibu kota nyaris tidak dibicarakan. DPR hanya menjadi stempel keinginan Jokowi. Ironisnya, DPR pula yang menolak pindah ke IKN.
Cacat ketiga terjadi dalam perencanaan, perancangan, dan pelaksanaan proyek IKN. Para pakar urban sepakat kota yang ideal muncul hanya ketika warga yang menjadi bagian dari kehidupan kota terlibat dalam perancangan ruang perkotaan. Dalam perencanaan IKN, nyaris tidak ada unsur partisipatif dalam metode perancangan. Semuanya didesain secara tergesa-gesa dengan menggunakan helicopter view dalam melihat permasalahan. Pemerintah tidak punya waktu untuk melibatkan warga sekitar dan tokoh-tokoh setempat dalam perencanaan IKN karena dikejar tenggat. Sekali lagi nafsu kuasa mengalahkan prinsip demokratis dalam perencanaan IKN.
IKN adalah megaproyek jangka panjang yang tidak hanya membutuhkan biaya sangat besar, tapi juga mendatangkan risiko tinggi. Risiko finansial, risiko lingkungan, dan risiko sosial adalah tiga bentuk ketidakpastian yang dihadapi dalam upaya meneruskan proyek IKN sebagai sebuah kota. IKN adalah proyek membangun kota baru dari nol, sementara Indonesia sejak merdeka tidak punya pengalaman membangun kota yang benar-benar baru dari tanah kosong. Tidak ada bayangan berapa biaya yang seharusnya disiapkan, seperti apa konsekuensi lingkungan yang akan dihadapi, dan bagaimana gesekan sosial yang bakal terjadi.
Sebagai contoh risiko finansial, ada Brasilia. Walaupun Brasilia resmi menjadi ibu kota Brasil empat tahun setelah proyek itu dimulai, pembangunannya terus berlangsung hingga 15 tahun. Jika menggunakan nilai uang saat ini, total biaya yang dihabiskan sekitar Rp 1.700 triliun. Pemerintah Brasil membiayai proyek ini dengan cara mencetak uang secara berlebihan. Akibatnya, Brasil mengalami inflasi buruk selama lebih dari satu dekade. Contoh kedua adalah ibu kota baru Mesir yang sedang dibangun Presiden Abdul Fattah as-Sisi. Biaya perkiraan awal proyek ini sekitar US$ 30 miliar. Sekarang biayanya membengkak menjadi US$ 58 miliar. Itu pun belum selesai. Akibatnya, ekonomi Mesir mengalami krisis dan Presiden As-Sisi menaikkan pajak untuk membiayai proyek “IKN Mesir” tersebut.
Dengan situasi investasi IKN yang tidak sesuai dengan harapan Jokowi, kelanjutan proyek ini akan membutuhkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Masalahnya, kita tidak tahu berapa besar biaya sebenarnya yang akan dibutuhkan IKN untuk menjadi kota yang ideal. Nilai Rp 466 triliun yang dipatok pemerintah penuh ketidakpastian, mengingat luas wilayah IKN yang empat kali lipat luas Jakarta. Belum lagi lokasi yang sulit ditempuh berdampak pada biaya logistik.
Apakah Indonesia mampu membiayai seluruh proyek IKN hingga tuntas tanpa konsekuensi krisis? Kalaupun Indonesia mampu secara finansial, apakah seluruh biaya yang akan dikeluarkan benar-benar sepadan dengan manfaat yang bakal dirasakan bangsa Indonesia?
Pemerintahan Prabowo Subianto kelak harus mengevaluasi ulang dengan cermat proyek IKN, baik secara finansial, sosial, maupun lingkungan. Yang jelas, pelanjutan proyek IKN sebagai ibu kota akan membebani APBN dalam jangka panjang. Konsekuensi yang lebih besar akan terjadi jika Prabowo segera menandatangani keputusan presiden tentang pemindahan ibu kota secara resmi.
Melihat situasi fiskal pemerintah yang sangat terbatas, dan tingginya risiko pembangunan IKN, satu-satunya pilihan adalah menunda pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara. Ini pilihan yang paling realistis agar pemerintahan Prabowo dapat bekerja dengan efektif mewujudkan berbagai program yang sudah dicanangkan.
Di sisi lain, proyek IKN telanjur berjalan. Akan mubazir jika semua bangunan yang sudah menelan uang rakyat ditelantarkan begitu saja. Karena itu, ada baiknya seluruh bangunan yang sedang dikerjakan diselesaikan sesuai dengan APBN yang telah dialokasikan tapi tanpa penambahan. Jika selesai, kawasan ini bisa berfungsi bukan sebagai ibu kota, melainkan kota mikro (microcity) yang dimanfaatkan pemerintah pusat dan daerah.
Istana yang sudah dibangun dijadikan istana presiden tambahan seperti Istana Bogor di Jawa Barat dan Istana Tampaksiring di Bali. Gedung-gedung yang sudah dibangun bisa dimanfaatkan oleh satu atau dua kementerian yang dipindahkan ke sana, misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Desa. Jakarta, dengan begitu, tetap berfungsi sebagai daerah khusus ibu kota negara.
(Sumber: Majalah TEMPO, Minggu, 1 September 2024)