Pope Fransiskus datang ke Indonesia, tapi dalam bahasa Indonesia kata "Pope" diterjemahkan dengan sebutan "Paus", karena pengaruh bahasa Belanda yaitu "Pous". Kedua kata ini sama-sama berakar dari bahasa Latin, Papa atau Bapa.
Secara de facto, kekuasaan Paus memiliki 2 hal. Pertama adalah pemimpin takhta suci atau Uskup Roma, yaitu pemimpin Gereja Katolik seluruh dunia dengan pengikut 1,4 miliar orang. Kepemimpinan Paus bersifat rohani dan transnasional.
Kedua, Paus adalah pemimpin Negara Kota Vatikan, yaitu sebuah wilayah seluas 44 hektar di tengah kota Roma dengan kedaulatannya sendiri. Vatikan berstatus sebagai negara pengamat di PBB, sama dengan Palestina. Bedanya, kalau Palestina masih dijajah, sedangkan Vatikan tak pernah mengajukan keanggotaan penuh.
Jika kembali ke abad ke-11 Masehi, di masa kekhalifahan Abbasiyah dan bertepatan dengan perang Salib juga, kedudukan Khalifah saat itu mirip dengan Paus saat ini.
Secara politik, Khalifah hanya menguasai wilayah kecil di sekitar Irak. Sementara wilayah pecahan masing-masing memiliki penguasa politiknya sendiri. Namun meski kekuasaannya kecil, Khalifah masih diakui sebagai pemimpin umat Islam di seluruh dunia.
Di masa itu ada berbagai Sultan dan Raja. Seperti Nuruddin Zenki di negeri Syam, yang kemudian digantikan oleh dinasti Ayyubiyah (dengan penguasa dan panglimanya yang terkenal Salahuddin Al Ayyubi).
Perbedaannya, Khalifah tak menetapkan institusi Rohani secara khusus yang sifatnya terpusat.
Makanya tak heran pernah ada usulan dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, jika umat Islam ingin khalifah bisa mencontoh Vatikan, supaya tidak menimbulkan polemik dengan negara bangsa.
Tentunya dalam konteks Islam, khalifah memiliki wilayah berdaulat sendiri dengan fungsinya adalah menyatukan umat Islam dan memperkuat dakwah Islam ke seluruh dunia. Sehingga institusi khalifah menjadi sangat berpengaruh dan penting di dunia.
(Pega Aji Sitama)