Andai Orang-orang Jepang Beragama Islam, Mungkin Akan Masuk Surga Duluan

Oleh: Dr. Ahmad Sarwat , Lc.MA

Ketika saya iseng tanya-tanya, agama apa yang dipeluk orang Jepang, kebanyakan jawabannya bahwa mereka tidak beragama. Mungkin resminya Shinto atau Budha, tapi nampaknya mereka kurang religius juga. 

Buktinya di Jepang tidak ada tanggal merah dalam rangka hari besar agama. Beda jauh dengan Bali, yang sedikit-sedikit libur karena ada perayaan agama. 

Beda juga dengan umumnya bangsa Indonesia yang terkenal religius. Hanya satu agama saja, sudah bisa bikin kita libur se-Indonesia berkali-kali dalam setahun. Maulid libur, Lebaran libur, Idul Adha libur, Isra Miraj libur, tahun baru Hijriyah libur. 

Kadang awal Ramadhan libur, Nuzulul Qur'an libur lagi. Lebaran Idul Fithri itu paling banyak makan libur. Padahal aslinya hanya 1 hari yaitu tanggal 1 Syawal. Tapi prakteknya minimal seminggu, bahkan bisa molor 2 Minggu. 

Belum nanti agama Kristen juga punya hari besar. Ada Natal, Jumat Agung, Kenaikan Isa Al-Masih dan lainnya. Kita muslim ini pun ikut libur juga. Kalau sampai kita nggak diajak ikut libur, pasti kita protes dan bisa sampai demo berjilid-jilid. 

Agama lainnya yaitu Budha, Hindu dan Konghuchu juga punya jatah libur nasional juga. Intinya, semakin banyak jumlah ragam agama di negeri kita, semakin banyak liburan kita. Itulah agama buat kita, perayaan agama itu identik dengan libur alias tidak bekerja. 

Bagaimana dengan Jepang? 

Saya tanya, katanya di Jepang itu Natal pun tidak libur, begitu juga lebaran pun tidak libur. Bahkan pemeluk Hindu, Budha dan Shinto pun tidak punya libur keagamaan kalau di Jepang. 

Kalaupun orang Jepang bikin liburan, yang saya tahu adalah the Golden Week. Dari 1 sampai 7 Mei tiap tahun. Agak mirip lebaran sih kalau di Indonesia. Minimal bikin kereta cepat Sinkansen agak penuh, bisa-bisa nggak dapat kursi. 

Agama orang Jepang ini dalam pandangan saya adalah bekerja. Tiap pagi mereka memadati stasiun kereta, berjejal-jejal dan tergesa-gesa takut terlambat tidak mendapatkan shaf terdepan. Takut berkurang pahalanya mungkin. 

Dan itu sebenarnya mirip-mirip dengan ajaran Islam. Bukankah dalam Islam bekerja itu adalah ibadah? 

Seandainya orang Jepang ini beragama Islam, pastilah mereka masuk surga duluan. Karena tiap hari rajin bekerja, maka malaikat sibuk mencatat ibadah mereka yang tidak pernah berhenti.

Namun seandainya juga bangsa-bangsa muslim getol bekerja yang jatuhnya ibadah kayak orang Jepang, pastilah mereka lebih depan lagi masuk surganya. 

Nabi SAW dan para sahabat di masa lalu pun begitu, tiap hari getol bekerja. Sebab bekerja itu memang ibadah. Bahkan sekedar bawa kapak untuk jual kayu bakar dijajakan di jalan, itu jauh lebih baik dari minta-minta ke orang, bikin proposal minta dana ini dan itu, minta zakat dan donasi. 

Tangan di atas itu lebih baik dari tangan di bawah. 

Sepanjang yang saya tahu, di masa kenabian dulu pun tidak ada hari libur karena urusan perayaan agama. Mereka tidak sedikit-sedikit-sedikit libur karena misalnya peringatan ini dan itu. 

Bahkan hari Jumat pun mereka tetap dagang. Cuma ketika dilantunkan adzan Jum'at, wajib shalat Jumat dulu. Tapi begitu jumatan usai, perintahnya bahkan disuruh bertebaran dan mencari karunia Allah alias bekerja, cari rizqi dan penghidupan. 

Lucunya, justru hari Jumat malah diliburkan di beberapa negara Arab. Termasuk juga di beberapa pesantren di negeri kita. Jumat libur karena mau ibadah. 

Bagaimana cara mengubah mindset anak bangsa, yang terlanjur meyakini bahwa bekerja itu bukan ibadah. Kalau mau ibadah, kita harus libur dulu. Itu agak susah sih. Karena sudah bawaan orok. 

Mindset kayak gitu dalam pikiran saya kok jadi agak-agak mirip orang Yahudi. Mereka secara khusus meliburkan diri tiap Sabtu untuk ibadah mereka. 

Sedangkan Nabi SAW dan para sahabat tetap bekerja meski di hari Jumat. Karena bekerja itu adalah ibadah.

(*)
Baca juga :