Tiga 'kebetulan' yang menggelitik: Putusan MK, Pertemuan Gibran-Erick, ....

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Tiga 'kebetulan' menggelitik saya. 

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah (Putusan 60) ternyata dimohonkan oleh Partai Buruh dan Gelora.

Isi putusan bisa Anda riset sendiri tapi intinya peluang Anies Baswedan dicalonkan di Pilkada DKI Jakarta hidup lagi, padahal sehari sebelumnya, seorang petinggi Gelora (mendukung Ridwan Kamil-Suswono) berkata pilkada DKI Jakarta aklamasi saja.

Mungkin terlampau semangat sampai lupa seharusnya permohonan di MK dicabut dulu ketimbang blunder jadi pintu masuk buat lawan.

Awalnya semua tampak mulus. Melalui putusan nomor 24P/HUM/2024 Mahkamah Agung (MA) mengubah syarat usia calon kepala daerah/wakil kepala daerah dari sebelumnya dihitung saat penetapan paslon menjadi saat pelantikan calon.

Peraturan KPU pun diubah menyesuaikan putusan MA itu. 

14 Agustus 2024, Presiden Jokowi teken Perpres 80/2024 yang mengatur pelantikan gubernur dan wakil gubernur pada 7 Februari 2025.

Kaesang pun bisa mencalonkan pilkada. Usianya lewat 30 tahun saat hari pelantikan. Ia pun diusung Nasdem sebagai calon di pilkada Jawa Tengah.

Lalu MK, yang kali ini tanpa sang paman dalam pengambilan putusan, beraksi: hitungan umur kembali ke awal, yaitu terhitung saat penetapan calon. 

Ya, penetapan calon pada 22 September 2024 mendatang. Sementara Kaesang baru berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.

Beberapa hari terakhir, vibes-nya memang seolah dibikin positif: persatuan, kerukunan elite, istimewa, keberlanjutan, maju...

Siapa saja yang pernah membaca teori kekuasaan Jawa dari Benedict Anderson tahu salah satu karakter kekuasaan Jawa adalah konsensus dan harmoni yang mencerminkan keseimbangan kosmos. Transisi mau dibikin smooth. Menang tanpa ngasorake. Teduh!

Tapi siapa saja yang pernah membaca ciri-ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis (1977) tentunya juga tahu salah satu ciri menonjol orang Indonesia adalah hipokrit (munafik). 

Kata dan perbuatan beda. Kelihatan loyal dan patuh di muka tapi menikam dari punggung.

(2) Senin (19/8/2024), ketika vibes lagi positif-positifnya dan kepercayaan diri koalisi pemenang sedang tinggi-tingginya, Wapres terpilih Gibran menyambangi (sowan, kata CNBC) Menteri BUMN Erick Thohir. 

Pertemuan sebentar saja, Erick tak berkomentar dan ditulis nyaris seragam oleh beberapa media bahwa ybs memilih untuk melanjutkan bekerja.

Tafsiran saya simpel: maksud dia melanjutkan jadi Menteri BUMN lewat jalur Gibran. 

Selain via parpol, minta jatah kabinet jalur 'dinasti' memang lagi tren.  

(3) Entah kebetulan atau bukan, sehari setelahnya, mengapa justru kelanjutan ybs malah ke gedung KPK. 

Sekjen PDIP yang juga bekas Sekretaris Tim Pemenangan Jokowi-Maruf pada Pilpres 2019, Hasto Kristiyanto, menyebut nama Erick Thohir (ketua tim pemenangan saat itu) dan Menhub Budi Karya Sumadi dalam kasus dugaan korupsi proyek jalur kereta api di DJKA Kemenhub.

Kata Hasto, "Saat itu, berdasarkan kebijakan dari Ketua Tim Pemenangan Bapak Erick Thohir dikatakan bahwa ada pihak-pihak sesama jajaran (menteri) yang kemudian bergotong royong (menggalang dana)."

Kita tahu omongan politisi wajib dikorting. Tak bisa ditelan mentah-mentah. Tapi yang jelas adalah bergotong-royong mengumpulkan duit buat pemenangan calon presiden bukanlah tugas menteri seperti diatur dalam UU 39/2008. 

Jangan sampai dicari-cari pembenaran bahwa mengumpulkan logistik kampanye capres merupakan kegiatan teknis berskala nasional yang merupakan bagian dari tugas menteri.

Tapi, tak perlu mimpi kejauhan skandal ini akan menggerus tingkat kesukaan orang Indonesia terhadap Jokowi yang tertinggi di dunia itu. 

Berlanjut, ya, berlanjut saja. 

Hanya saja, Erick Thohir sebaiknya diperiksa oleh KPK untuk ditanya, dari proyek jalur kereta api itu, sebenarnya tim pemenangan dapat berapa.

Salam.

Baca juga :