Pekerja Jalan Anyer-Panarukan Dibayar Daendels, tapi Dikorupsi Bupati
Salah satu jalur terpenting di Pulau Jawa adalah jalur Pantura, yang terbentang di sepanjang pesisir Pantai Utara Jawa. Jalur Pantura melewati beberapa provinsi seperti Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Barat , jalur Pantura melewati Kota dan Kabupaten Cirebon.
Dibangunya jalur pantura, tidak lepas sejarah pembangunan jalan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels.
Selama ini kita diajarkan bahwa pembangunan terlaksana berkat kerja rodi para pribumi. Setiap hari tiada henti, para pribumi dipaksa menguruk tanah untuk kepentingan pertahanan dan perhubungan Daendels. Diajarkan pula, selama bekerja pribumi tak diberi upah sama sekali.
Meski begitu, baru-baru ini beredar cerita bahwa sebenarnya Daendels memberi upah ke pekerja melalui bupati. Hanya saja, upah tersebut tak sampai ke tangan pekerja alias dikorupsi.
Pada tahun 1808, Daendels membangun jalan raya dari Anyer-Panarukan. Daendels menyebut pembangunan jalan raya ini dengan de Groote Postweg atau Jalan Raya Pos.
Penamaan Jalan Raya Pos, berasal dari usaha Daendels untuk membangun kantor pos di setiap kota yang dilalui. Di Cirebon kantor pos terletak di Jalan Yos Sudarso, Lemahwungkuk kota Cirebon. Dibangun pada tahun 1810 M. Bersamaan dengan dibangunya jalan Daendels di Cirebon. Di bagian depan kantor pos ada tugu yang menunjukan titik 0 Cirebon.
Putra Lingga Pamungkas pegiat sejarah dari Komunitas Cirebon History, menuturkan, memang di setiap kota yang dilalui jalur Pantura akan ada kantor pos dan titik 0 kilometernya masing-masing. Oleh pemerintah kolonial kantor pos digunakan sebagai sarana komunikasi antar kota.
Di Cirebon sendiri pembangunan jalan Daendels dimulai dari Kadipaten, Ciwaringin, Gempol, Palimanan, Plered, Jamblang, Kedawung, Pilang ,Krucuk, Gedung Negara, Kesenden, Kapten Samadikun sampai Jawa Tengah.
Dilansir dari buku yang berjudul Dua Abad Jalan Raya Pantura karya Endah Sri Hartatik disebutkan, saat pembangunan jalan sampai wilayah Kesultanan Cirebon, Daendels melakukan negosiasi dengan Sultan Cirebon. Selain untuk meminta izin, negosiasi ini dilakukan karena kondisi keuangan pemerintahan Belanda tidak cukup untuk membayar upah pekerja.
Sebagai gantinya Daendels mengumpulkan para bupati untuk diberikan kewenangan penuh dalam mengelola pekerja. Tetapi dalam pelaksanaannya, bupati malah banyak terlibat korupsi.
Lingga menuturkan, setiap pekerja seharusnya diberikan upah sebesar 10 sen setiap minggu, beserta beras dan garam. Namun upah tersebut, oleh para bupati tidak dibayarkan. Menurut Lingga di sinilah awal mula praktek korupsi di kalangan bupati yang notabene penduduk pribumi.
"Belanda memberikan upah kepada pribumi melalui bupati. Tetapi para bupati tersebut enggak membayarkan kepada pribumi, tidak ada catatan yang menunjukan mengenai faktur atau pembayaran upah dari bupati ke pribumi. Makanya pribumi yang bekerja banyak yang kelaparan," tutur Lingga beberapa waktu lalu.
Meskipun banyak menewaskan korban, Lingga sendiri tidak mengetahui secara pasti angka berapa korban yang tewas di Cirebon, tapi yang pasti, paling banyak menelan korban ada di wilayah Cisaat, Sumedang. Penyebabnya karena kontur tanah di Sumedang kebanyakan perbukitan sehingga menyulitkan pekerja dalam membuat jalan.
Setelah jadi, jalan digunakan hanya untuk kepentingan Hindia-Belanda dan para bangsawan pribumi. Pada masa itu, banyak kereta kuda milik bangsawan pribumi dan pemerintah Hindia-Belanda yang lewat di jalan Deandles.
"Dulu pun untuk memudahkan transportasi guna kepentingan pos dan komunikasi antar kota, serta jalur militer Hindia Belanda yang kala itu sedang konflik dengan Perancis untuk memperebutkan pulau Jawa," tutur Lingga.
Penduduk pribumi, baru dapat menikmati jalan Daendels setelah keluar keputusan pemerintah kolonial No 4 tanggal 19 Agustus 1857. Sebelumnya, penduduk pribumi hanya bisa lewat di sisi jalan Deandels yang kondisinya jelek.
Jalan Raya Pos memiliki panjang sekitar 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer Provinsi Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Lebar jalan 7,5 meter, di sebelah kanan dan kiri jalan dibuat selokan tempat air mengalir. Dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer ada sekitar 12.000 yang tewas akibat pembangunan jalan Daendels.
(Sumber: Detik)