Ustadz Hafidin Achmad Luthfie:
Silaturrahmi yang viral itu, sejatinya akan mengajak sejumlah ustadz.
Saya termasuk yang diusulkan ikut. Namun, posisi saya kurang menguntungkan buat pertemuan tersebut.
Saya pun menyarankan satu nama agar diajak dan ikut, yaitu Ustadz Fahmi Salim, MA.
Tujuan Silaturrahmi tersebut adalah membawa aspirasi umat. Karena sesuai survei--sebagaimana disampaikan Ustadz Dr. Muhammad Zaitun Rasmin, MA, bahwa mayoritas rakyat Jakarta meminta Anies Baswedan maju di pilgub DKJ.
Kita menghormati alasan dan argumentasi pihak tuan rumah. Namun, bukan berarti kami setuju dengan alasan dan argumentasi mereka.
Entah bagaimana keterangan Ustadz Zaitun discreenshoot dan dishare kemana-mana. Sebuah hal yang melanggar etika dan aturan di grup.
Tapi, saya ingin informasikan juga bahwa Ustadz Dr. Muhammad Zaitun Rasmin, MA, juga tak menyalahkan umat yang akan golput dalam pilgub DJK. Dalam keterangannya ia mengatakan: "Betul sekali. Apalagi kalau sesuai poling bahwa mayoritas mutlak tidak terwakili aspirasinya. Maka tidak ikut memberikan suara (baik tidak ke TPS atau menjadikan suaranya rusak) bisa menjadi pilihan untuk memperjuangkan aspirasi mayoritas."
Pada kasus Pilgub DKJ tak tepat mengunakan kaedah ushul maupun fiqh tentang maslahat dan mafsadat. Saya telah memunaqosyah pemakaian kaedah tersebut.
Saya memberikan ilustrasi sbb.
Si A lapar. Dia minta tolong B agar menolongnya. Si B pun datang membawa daging sapi. Entah kenapa Si A melemparkan daging itu ke laut. Sehingga Si A tak punya lagi makanan. Dan dirinya tambah lapar dan lemah. Si C dan Si D mengetahui Si A lapar. Karena mereka tak kenal halal haram maka keduanya membawa makanan yang haram. Si C bawa daging babi. Sedangkan Si D bawa daging celeng. Lalu keduanya berkata: Hai A segeralah makan makanan dari kami. Karena tak ada lagi makanan. Kalau kamu tak makan kamu bisa jatuh sakit."
Saya memandang Si A tak punya hak makan daging babi atau celeng pada kondisinya tersebut. Karena di awal dia sudah diberikan daging halal namun dibuangnya. Kesulitan yang ia alami adalah akibat kebodohan dan kesalahannya sendiri. Dia secara sengaja menciptakan kesulitan dirinya itu.
Darurat adalah sebuah kebutuhan besar (haajah syadidah), kesusahan (masyaqqoh), dan kesulitan yang tidak bisa ditolak.
Para fuqoha pun mendefinisikan darurat sebagai "orang dalam tingkat kondisi tertentu yang menuntut atau mengharuskan dia melakukan hal tertentu karena kalau tak dilakukannya ia bisa binasa atau mendekati kebinasaan. "
Pada kasus DJK, umat takkan binasa dan atau mendekati kebinasaan karena tak memberikan suara.
Tidak memilih adalah sah secara undang-undang dan pandangan fiqh.
(*)