SALING SANDERA
Banyak orang mengatakan bahwa salah satu kehebatan Prabu Mulyono adalah kemampuannya memelihara “kasus-kasus hukum” dari lawan dan kawan politiknya. Iya, tidak hanya lawan politik tapi juga lawan.
Kabarnya ia menjadikan kasus-kasus ini sebagai kartu untuk mengirim lawan, dan kawan yang berani melawan, ke pengadilan dan akhirnya ke penjara.
Publik yang hanya melihat di permukaan, melihat keanehan-keanehan namun hanya mampu bertanya-tanya. Itu menjadi fenomena yang tak dapat dijelaskan.
Seperti misalnya, kemunduran Airlangga Hartarto dari ketua umum Golkar. Orang tidak punya penjelasan akurat, kecuali bisik-bisik dan desas-desus, soal kemundurannya ini. Kabarnya, Airlangga dipaksa mundur karena surat perintah penahannya sudah siap dilayangkan.
Itu hanya satu kasus. Ada banyak kasus lain. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Pokoknya, kata mereka yang percaya, Mulyono sudah pegang banyak kartu elit-elit negeri ini. Itulah perlindungan dirinya dalam berbagai pertarungan kekuasaan.
Argumen ini mungkin paling masuk akal. Namun kadang orang lupa bahwa hal yang sebaliknya juga terjadi.
Beberapa kali saya melihat komentar di media sosial tentang Mulyono. Mereka yang masih simpati (dan jumlahnya cukup banyak) selalu bilang, oh setidaknya dia tidak korup!
Nah disinilah problematiknya. Apakah Prabu Mul ini benar-benar bersih?
Akhir-akhir ini lawan-lawan politiknya di kalangan elit, juga kawan dan sekutu yang dulu menjilatnya sampai licin, mulai mengeluarkan semua kartu mereka tentang kelakuan Prabu Mulyono ini. Pelan-pelan mereka mengeluarkan kasus-kasusnya.
Tidak secara langsung ke arah Prabu Mulyono. Tapi ke anggota keluarganya. Mengapa ke keluarganya?
Ini tidak lebih dari kelakuan Prabu dari Sumber ini yang ingin membangun politik dinasti. Dia sayang anak dan mantu. Dia mencarikan jabatan dan kekuasaan untuk mereka.
Jadi sangat wajar kalau serangan kepada anggota keluarganya kemudian menjadi serangan paling memukul untuk Mulyono. Tidak hanya kepada anak mantu. Juga kepada istrinya.
Orang mulai mempertanyakan anaknya yang umur belum genap 30 tahun tapi sudah punya 92 milyar. Itu yang ketahuan. Dan juga gaya hidup hedonisnya. Orang mulai melihat barang-barang yang dikenakan istrinya. Bahkan wajahnya pun di analisis, apakah asli atau oplas. Atau berapa harga serum mahal yang dipakainya.
Namun di samping hal-hal remeh dan temeh itu, ada juga yang mulai membocorkan kegiatan bisnisnya. Sama seperti yang dilakukan Prabu Mulyono kepada lawan dan kawan politiknya, orang pun mulai mengungkit kasus-kasusnya.
Prabu Mulyono itu tidak "immune" terhadap kasus. Ia juga punya banyak kasus!
Lho tapi kan Prabu Mulyono tidak korup? Ha Suharto juga tidak korup. Tapi anak-anaknya menjarah dimana-mana. Bedanya, kalau Suharto melarang anak-anaknya terjun ke politik maka Prabu Mulyono justru mendorongnya.
Suharto itu institusionalis. Dia percaya ABRI dan Golkar ciptaannya akan melindunginya dan keluarganya. Asalkan dia tidak mengambil jatah mereka lewat anak-anaknya, semuanya akan baik-baik saja. Itu terbukti benar. Hingga sekarang kalau ada yang cinta mati sama Suharto maka kemungkinan besar dia itu militer atau Golkar (PNS termasuk didalamnya).
Prabu Mulyono tidak percaya pada institusi. Dia tidak bikin partai politik ketika punya kesempatan besar untuk itu. Padahal para relawan kampanyenya pernah mengusulkan itu.
Politik untuk Prabu Mulyono adalah personal. Dia percaya kalau kemampuannya memanipulasi dan menyandera akan berhasil mematikan lawan dan kawan yang khianat. Itu juga yang menyebabkan dia tidak percaya pada siapa-siapa kecuali anggota keluarganya. Atau beberapa pembantu terdekat seperti Pratikno yang sudah dianggap atau diperlakukan sebagai anggota keluarga. Bahkan Tuan Luput yang dianggap mampu menyelesaikan semua masalah itu pun bukan bagian dari keluarga.
Juga Suharto yang percaya pada institusi saja tidak dapat menyelamatkan diri saat krisis, sulit bagi saya untuk membayangkan Prabu Mulyono bisa keluar dari krisis yang dia ciptakan sendiri.
Ini mengingatkan saya waktu kecil. Manakala dalam permainan saya curang, dan kemudian saya mendapat pembalasan yang lebih keras dari saudara-saudara saya, kakak saya biasanya bilang begini, “pembalasan lebih kejam dari perbuatan.”
Barangkali itulah yang ada di kepala lawan dan kawan Prabu Mulyono sekarang ini.
(Penulis: Made Supriatma)