Salam buat Grace Natalie, silakan dibaca tulisan Agustinus ini....

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Aksi Presiden Jokowi boyong rombongan pemengaruh (influencer) ke IKN memang bikin risih dan jengkel. Tapi, mau gimana lagi, sejak dari cerita fiksi Esemka, seharusnya kita sadar memang begitulah adanya dia dan faktanya masih banyak yang suka.

Padahal dari keluhannya tidak bisa tidur nyenyak di IKN karena AC panas, kita bisa endus adanya masalah di situ. 

Saya jadi ingat kawan saya, seorang ahli jiwa yang pernah menjabat di BNN, berkata ada tiga hal yang jadi ukuran sehatnya jiwanya seseorang: bisa menikmati makan (banyak orang makan mahal dan enak di hotel tapi sesungguhnya tidaklah nikmat), bisa menikmati tidur (orang tidur di hotel bintang lima tapi tidak nyenyak), bisa menikmati hobi/bersosialisasi.

Tapi, bagi saya, masalah muncul ketika Grace Natalie, staf khusus presiden, berkata alasan membawa influencer itu demi transparansi publik. 

Publik mana yang dimaksud, ya, mungkin semacam 76 jutaan pengikut IG Raffi Ahmad.

"Transparansi publik" kicauan pemerintah itu berpotensi menyesatkan. 

Seharusnya Grace paham (Grace dulunya jurnalis TV sebelum terjun ke politik -red) karena saya ingat beberapa belas tahun lalu, sewaktu masih wartawan, kami ikut suatu pelatihan jurnalisme investigasi yang diadakan UNDP dan diajari yang namanya transparansi publik itu bukan semacam datang, foto-foto, yel-yel, dan posting di medsos semata.

Kita diajari bahwa siaran pers resmi harus dicurigai karena mengandung banyak komestik. 

Perhatikan jangan hanya apa yang ditampilkan tapi justru banyaklah fokus pada apa yang mau disembunyikan oleh mereka yang berkuasa. 

Melihat orang miskin di jalanan bukan hanya sebagai peristiwa orang yang patut dikasihani tapi lihat kemungkinan adanya korupsi sistematis dan struktural sebagai hulu masalah. 

Cek-ricek dan ragukan klaim pihak yang memiliki dominasi dalam suatu relasi kekuasaan karena biasanya ia menggunakan yang lemah sebagai tameng ambisi pribadi/kelompok.

Transparansi adalah hasil dari investigasi, yang merupakan aktivitas pikiran untuk mengupas perkara. Transparansi bukan hasil dari pajangan foto artis dan pejabat yang ditempelkan sound yang lagi viral.

Jadi, persoalannya bukan pada status pemengaruhnya tapi siapa saja (pimpinan media, relawan, akademisi, dsb) yang diboyong ke suatu lokasi tanpa meragukan klaim-klaim yang disodorkan (dalam hal ini klaim pemerintah), tidak pantas menyandang alasan demi transparansi publik. 

Lebih pantas disebut sebagai wisatawan APBN.

- Tak ada transparansi publik kalau tidak diperbincangkan tentang audit dan pertanggungjawaban dana APBN Rp83,5 triliun  per 4 Juli 2024 yang tersedot untuk IKN. Jangan-jangan dikorupsi?

- Tak ada transparansi publik kalau tidak diperbincangkan tentang AMDAL, deforestasi, dan sengketa lahan IKN dengan warga setempat.

- Tak ada transparansi kalau tidak dibongkar alasan sesungguhnya mengapa kepala otorita yang sebelumnya mengundurkan diri, apakah karena alasan pribadi semata, uang, titip-menitip proyek.

- Tak ada transparansi kalau tidak dipertanyakan klaim mendatangkan investor asing mengingat kejadian Softbank yang dulu dibangga-banggakan sebagai investor kakap berkelas dan kini berujung omong kosong.

- Tak ada transparansi kalau tidak dibongkar apa mau sebenarnya dari konglomerat tertentu yang tergabung dalam Konsorsium Nusantara, mana mungkin ada konglomerat yang mau kerja bakti doang.

- Tak ada transparansi dan sesuatu hal yang penting buat publik dengan suguhan berita di Sekretariat Negara berjudul: Para Influencer Ungkap Kesan dan Harapan terhadap IKN.

Rakyat kerja keras terus dipajaki untuk membiayai lembaga negara yang publikasinya demikian itu?

Konyol!

Salam.

(fb)
Baca juga :