“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang telah gugur, dan di antara mereka ada juga yang sedang menunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).”
Pada malam hari antara tanggal 30 dan 31 Juli, Israel menargetkan dua tokoh penting Poros Perlawanan (Muqawamah), keduanya adalah tokok kunci dalam perang di Gaza dan Lebanon dengan Isreal dalam 10 bulan terakhir.
Pertama, komandan tinggi Hizbullah, Fuad Shukr tewas dalam serangan udara Israel di Beirut, yang juga menyebabkan beberapa warga sipil tewas dan lebih dari 70 orang terluka.
Target kedua, pada jam 2 pagi tanggal 31 Juli, adalah pemimpin biro politik Hamas Ismail Haniyeh yang berada di Teheran untuk menghadiri upacara pelantikan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian.
Ketika mereka memilih jalan perjuangan, sejak awal mereka sudah berniat untuk mendapatkan pahala syahid. Jadi, saat mereka memutuskan untuk berjalan di jalan perjuangan, artinya nyawa mereka selalu terancam dan kapanpun bisa dibunuh, hanya masalah cara dan waktu. Bagi seorang pejuang muslim, adakah kematian yang lebih indah daripada kematian di tangan musuh? Dan kita berharap mereka semua mendapatkan apa yang mereka idam-idamkan selama mereka hidup.
Dengan melakukan hal tersebut, Tel Aviv melanggar sejumlah hukum internasional, konvensi diplomatik, dan nilai moral yang melarang pembunuhan politik, serta secara nyata melanggar integritas teritorial dua negara anggota PBB, Iran dan Lebanon.
Sejak perang di Gaza, Israel dengan cepat mendapatkan status paria global, bukan hanya karena genosida yang dilakukan secara live yang telah menewaskan sedikitnya 40.000 warga sipil Palestina – 15.000 di antaranya adalah anak-anak – tetapi juga karena keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang masih berlangsung di tingkat global, yaitu Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ) atas kejahatan perang Israel.
Fuad Shukr bukanlah pemain baru, statusnya "wanted" sejak tahun 1983 dan dianggap bertanggungjawab sebagai otak dibalik serangan “Beirut barracks bombings”, yang menewaskan 241 orang tentara AS dan 58 orang tentara Prancis. Kepalanya dihargai 5 juta USD oleh AS.
Adapun Ismail Haniyeh, ujung tombak diplomasi Hamas dan tokoh sentral dalam negosiasi gencatan senjata saat ini, merupakan tokoh penting yang tidak bisa dianggap remeh. Makanya pembunuhan terhadap Haniyeh adalah capaian besar bagi Israel, pilot yang menembak rumah tempat Haniyeh tinggal di Tehran yang baru berpangkat Rav séren (Mayor) langsung jadi Sgan Aluf (Letkol)!
Pada saat Israel menyerang bangunan dimana Ismail Haniyeh tinggal, ternyata di bangunan yang sama namun di lantai yang berbeda, ada "big fish" (target besar) lainnya yang sudah 4 kali diumumkan tewas oleh serangan Israel, tapi dia masih hidup, yaitu Ziyad Nakhaleh, pemimpin Jihad Islami Gaza, yang memiliki sayap militer tidak kalah ganas dari Brigade Qassam, yaitu Brigade Quds.
Pertama, sangat disayangkan Ismail Haniyeh dibunuh saat menjadi tamu undangan pelantikan Presiden Iran di Tehran, sehingga kita merasa bahwa Iran harus membalas penghinaan itu, sebagai bagian dari Ikromu Dhuyuf (memuliakan tamu) yang pertama, kedua sebagai balasan atas harga diri Iran yang diinjak oleh Israel, kalau perlu negara “tetangga” Iran yang memfasilitasi wilayah udara untuk dipakai oleh pesawat tempur atau drone Israel harus “dijewer” juga. Begitu juga Hizbullah, kalau pembunuhan Fuad Shukr tidak dibalas, maka itu akan meng-encourage (mendorong) Isreal untuk terus melakukan pembunuhan-pembunuhan serupa.
Dan kedua, kita sangat menyangkan juga sikap Mesir dan Qatar yang masih berkomunikasi dengan Israel untuk membahas rencana gencatan senjata. Bagaimana kita bahas gencatan senjata, sementara tokoh di salah satu pihak dibunuh oleh pihak lain! Bagus sekali pernyataan Hamas bahwa pembahasan gencata senjata sebelum dan sesudah Ismail Haniyeh tidak akan sama!
Syahidnya dua tokoh di atas, bukan berarti akhir dari perjuangan, sejak awal mereka memilik jalan itu, mereka sudah tahu bahwa perjuangan yang diajarkan agama kita bukanlah perjuangan untuk atau atas nama tokoh, tapi perjuangan untuk sebuah nilai, prinsip dan tujuan agung.
Kalau bukan karena syahidnya Sheikh Ahmad Yassin, mungkin kita tidak akan melihat kekuatan Ismail Haniyeh; kalau bukan karena syahidnya Shalah Shahadah, mungkin kita tidak akan pernah tahu strategi perang Muhammad Deif; kalau bukan karena syahidnya Abdul Aziz Rantisy, mungkin kita tidak pernah melihat ganasnya Yahya Siawar! Hari-hari terus bergulir, patah satu, tumbuh seribu!
Rahimahumullah....
(Saief Alemdar)