NO ANIES NO PARTY, TANPA PKS ANIES TETAP BINTANG
Oleh: Faisal Lohy
Sore tadi saya ketemu dengan salah satu juru bicara Anies Baswedan. Dia bercerita soal komunikasi dan keadaan hati pak Anies terhadap para pimpinan tinggi PKS ?
Sungguh mencerminkan kelapangan, luas dan bersihnya hati nurani Anies. Sampai hari ini, pak Anies tetap menjalin komunikasi baik dengan para petinggi PKS. Gak ada dendam, gak ada marah-marahan. Anies menerima keputusan PKS dengan segala rasa hormat ketika memilih gabung ke dalam KIM+.
Meskipun ada beberapa hal yg masih mengganjal. Sampai hari ini beliau belum paham alasan dibalik pembatalan sepihak PKS terhadap dirinya di Pilkada Jakarta.
Sebagaimana yg sudah diketahui masyarakat luas. Juru bicara PKS menyebut, alasan pembatalan, bahwa Anies gagal memenuhi syarat datangkan partai koalisi sampai batas jatuh tempo yg ditentukan.
Syarat yg tidak pernah dibuat dan disepakati antara PKS dan Anies. Tidak pernah ada komitmen terkait syarat tersebut antara Anies dengan PKS. Anies justru baru mendengar syarat itu saat disebutkan sebagai alasan ketika PKS batalkan mencalonkan dirinya.
Anies bingung. Sempat bertanya tapi tidak menemukan respon yg baik. Sampai hari ini.
Berbeda dengan Nasdem dan PKB. Surya Paloh sangat terbuka dengan Anies. Semua alasan perihal Nasdem balik badan, diungkapkan Paloh ke Anies dengan sejumlah pertimbangan politis yg akhirnya diterima lapang dada oleh Anies. Keduanya berpisah dengan baik-baik. Tanpa memunculkan tanda tanya dan polemik seperti kasus PKS.
Untuk PKB sendiri, Anies belakangan memang tidak mau mendesak, memaksa dan menambah beban secara politis kepada Muhaimin Iskandar sejak diperhadapkan dalam konflik dengan PBNU.
Sampai sekarang hubungan Anies dan Gus Imin baik-baik saja. Bahkan Anies berharap Gus Imin bisa terpilih kembali sebagai ketum PKB pada Muktamar di bali yg dimulai pada 24 Agustus nanti agar kemitraan politik antara PKB dan Anies bisa terus berlanjut dengan baik.
Sikap kedua pimpinan partai tersebut, berbeda dengan PKS yg secara sepihak berbalik badan dari Anies dengan alasan-alasan yg tidak jelas dan menimbulkan polemik.
Dipahami saja. Politik itu dinamis. Perubahannya hitungan hari bahkan jam. Mungkin saja PKS balik badan lantaran melihat pertimbangan politik yg lebih baik jika bergabung ke kubu KIM+ di bawah kendali Jokowi-Prabowo untuk usung Ridwan Kamil.
Mungkin saja PKS tidak mau ikut ketinggalan jadi bagian dari transisi pemerintahan Jokowi ke Prabowo. Bisa jadi karena dijanjikan jatah kursi menteri sambil terus memperkuat legitimasinya di Jakarta.
Pastinya, balik badannya PKS, mengkonfirmasi, partai yg katanya ber-patron Islam itu, turut menjadi bagian mendukung skenario Jahil Jokowi-Prabowo borong partai demi menjegal Anies maju sebagai kompetitor. KIM borong 12 partai yg punya kursi di DPRD Jakarta dan hanya menyisahkan PDIP sebagai kompetitor.
Namun siang tadi, keadaan berubah. MK menjawab pengajuan judicial review partai Gelora dan Buruh. MK putusakan menurunkan Ambang Batas pencalonan Jakarta dari 20% jadi 7,5%. Partai politik atau gabungan partai politik apa saja, meskipun tidak punya kursi di DPRD, tapi jika memenuhi ambang batas yg ditetapkan, bisa mengusung calon kepala daerah.
Keputusan MK memberi peluang bagi Anies untuk maju. Kuncinya lewat PDIP yg terus menunjukan minatnya beri tiket ke Anies.
Informasi internal DPP PDIP menyatakan, Anies merupakan sosok paling populer diantara 3 orang yg saat ini sedang dipertimbangkan PDIP untuk maju. Bahkan, Said Abdullah, DPP PDIP menyebut, pihaknya mempersiapkan Hendrar Prihadi sebagai cawagub Anies.
Kemungkinan besar Anies akan dipilih PDIP menimbang elektabilitas dan suara akar rumput Jakarta yg lebih mengharapkan Anies dibanding Ridwan Kamil atau Dharma Kun yg maju lewat Jalur Independen.
Namun, publik banyak bertanya, kenapa MK tiba-tiba muncul sebagai pahlawan kesiangan beri kesempatan kepada PDIP dan Anies ?
Selama ini kita tau integritas dan independensi MK selalu bisa dibobol presiden. MK selalu di bawah bayang-bayang kendali presiden. Bahkan untuk beberapa kasus yg lewat, MK secara terbuka dijadikan sebagai alat politik untuk suksesi dinasti politik Presiden.
Kita masih ingat, bagaimana MK merubah batas usia yg meloloskan Gibran sebagai cawapres Prabowo tanpa punya dasar jelas secara konstitusional. Baik secara materil maupun formil.
Rakyat melihat arogansi presiden Jokowi dan Prabowo, berupaya keras menjegal Anies. Kenapa sekarang MK yg sejauh ini berada di bawah bayang-bayang pengaruh Jokowi, malah membuat kejutan dengan memberi kesempatan PDIP dan Anies di Pilkada Jakarta ?
Semoga keputusan MK ini bukan merupakan bagian dari skenario jahil Jokowi-Prabowo. Semoga saja keputusan ini merupakan wujud kesadaran MK sebagai lembaga hukum tertinggi untuk membenahi proses demokrasi Indonesia.
Jika benar, PDIP usung Anies, maka warga jakarta, sebagian besar pasti happy. Itulah keadaannya. No Anies no party. Dengan keikutsertaan Anies, pilkada jakarta akan menjadi pesta besar bagi warganya. Sejak memutuskan kembali mencalonkan diri, Anies telah menjadi bintang utama harapan warga Jakarta. Melenyapkan Anies, berarti meredupkan semarak Pilkada Jakarta.
Meniadakan Anies dalam ajang Pilkada Jakarta 2024, seperti merancang berjalannya pesta tanpa bintang. Suasana pesta pasti kosong tanpa gairah, Animo warga pasti lenyap.
Saat ini mayoritas warga Jakarta sedang riang gembira, bersyukur Anies punya kesempatan untuk maju. Dalam suasan haru penuh rasa syukur ini, citra PKS di hadapan konstituen Jakarta makin jatuh. Radar amukan, hinaan bahkan cacian warga jakarta meramaikan berbagai jejaring media sosial.
PKS sedang menikmati hukuman masyarakat. Bukan cuma kemarahan yg teramati di media sosial, wujud penghakiman berikutnya yg paling dekat akan berdampak pada kandidat yg diusung PKS dalam pilkada tingkat Kabupaten/Kota, terutama di Jakarta sendiri. Kita tau PKS memasangkan kadernya sebagai cawagub dampingi Ridwan Kamil.
Hukuman yg sama pernah menimpah PPP dalam Pilkada Jakarta 2017-2022 yg semula bersama Anies-Sandiaga Uno lalu melompat mengusung Ahok-Djarot Syaiful Hidayat. Konstituen PPP menghukum dengan tidak memilihnya di Pileg. Dari semula PPP mendapat 10 kursi, jadi hanya mendapat 1 kursi di DPRD DKI Jakarta.
Dalam keadaan seperti ini, secara moral, Anies tidak meninggalkan PKS. Rasa kecewa atas pengkhianatan yg diterima Anies, tidak membuat Anies Jumawa menjatuhkan PKS. Gak ada perasaan marah atau dendam. Lewat juru bicaranya yg saya temui tadi sore, Anies menyampaikan masih berkomunikasi intens-baik dengan petinggi-petinggi PKS.
Sejak awal, PKS harusnya bisa konsisten terhadap Anies. Tidak termakan bujuk rayu gabung KIM+. Kini Keputusan MK menjadi pelajaran penting, jika PKS tidak gegabah, saat ini udah mengusung Anies tanpa harus berkoalisi dengan partai apapun. PKS punya 18 Kursi, lebih dari cukup untuk syarat 7,5%
Tapi nasi udah jadi bubur. Anies memang selalu terbuka untuk PKS jika mau kembali. Secara undang-undang, PKS juga masih punya pilihan untuk batalkan cawagub-nya yg dipasang bersama Ridwan Kamil lalu kembali ke Anies. Hanya saja akan semakin mempermalukan PKS sebagai partai yg gak punya rasa malu.
Loncat sana-sini secara tidak profesional. Pindah sana-sini dengan pertimbangan yg tidak matang. Ikut sana-sini demi kepentingan layaknya Bunglon dengan pendirian politik yg labil. Lari sana-sini mengikuti kemana arah kepentingan elektoral berpindah.
Kemarahan warga jakarta akan makin memuncak karena tau PKS mengkhianati Anies dan masuk dalam skenario jahil KIM+ jegal pencalonan Anies.
Satu lagi, jika balik ke Anies, maka PKS, boleh jadi akan kehilangan kompensasi jatah menteri di kabinet Prabowo. Apakah PKS siap kehilangan jatah kursi menteri? Hanya mereka yg bisa menjawab.
Pastinya, jika PDIP mengusung Anies, dengan atau tanpa PKS, Anies akan tetap melanggeng ikuti kontestasi. Dengan sokongan PDIP, kehadiran PKS juga sudah tidak dibutuhkan.
PKS yg memilih untuk meninggalkan Anies. Biarkan mereka mencari jawaban atas benturan politik yg sedang dihadapi.
(*)