Saya kira Prabu Mulyono sudah di posisi skak mat sekarang ini. Saya tidak melihat ada hal-hal yang bisa dimenangkan oleh dia.
Hampir semua jalur sudah tertutup. Pangeran Pisang, anak bungsunya, sudah rusak reputasinya. Kemewahan dan hedonisme yang dia pertontonkan bersama istrinya, Putri Nyi Onthong, membuat banyak orang marah.
Menantunya, Adipati Bobabul, yang mau jadi gubernur tanah seberang juga tidak aman posisinya. Ada kemungkinan dia kalah biar pun sudah menggantung di oyot wit ringin. Namun wit ringin pun sekarang rentan karena Prabu Mulyono mengganti penjaganya beberapa hari lalu. Masih harus dilihat apakah Tuyul yang dipercaya itu akan sanggup melawan para genderuwo, kuntilanak, wewe gombal serta makhluk halus yang berkuasa di dalam wit ringin itu.
Prabu Mulyono memang berhasil mengganti penjaga wit ringin, yang diyakininya akan menjaga dan tetap memberi kekuasaan kepadanya. Namun kekuasaan Prabu Mulyono disana belum mantap betul.
Sebagaimana penguasa dimana saja, Anda tidak akan aman kalau bukan Anda sendiri yang memegang tampuk kekuasaannya. Hanya dengan mendudukkan proxy Tuyul disana, itu tidak akan membuat aman.
Seperti Tuyul peliharaan Mbah Arto GPK dulu, yang sukanya omong-omong kosong saban hari itu, ketika terdesak, ia ya khianat. Padahal dia itu kurang loyal apa? Jilatannya kurang apa?
Apakah Tuyul yang sekarang diserahi tugas menjaga wit ringin ini tidak akan khianat kalau dipaksa sama para genderuwo dan sekalian dhemit disana untuk memilih: hayo, kowe setia pada negeri wit ringin dan penghuninya atau kepada Prabu Mulyono?
Lha itu pilihan sulit bagi sang Tuyul.
Saya bisa membayangkan sebuah akhir yang Shakespearean disini. Yakni, Prabu Mulyono akan bilang, "Et tu, Yul?" ... Kowe yo melu khianat, Yul?
Sementara itu, Pangeran Gibas yang akan jadi wakil sultan sekarang berada pada posisi yang sangat lemah. Dia tidak punya kekuatan apapun selain sokongan dan dukungan ayahandanya, Prabu Mulyono. Dia tidak berpartai -- dan tidak berprestasi juga. Lalu kekuatan riil apa yang dipunyainya? Sungguh kekuasaannya hanya tergantung dari belas kasihan Mbah Wowo yang akan jumeneng beberapa bulan lagi.
Jadi, sebenarnya apa pilihan Prabu Mulyono? Sementara itu, sebentar lagi dia harus lengser keprabon. Dia sendiri sudah mulai kelihatan menyadari apa yang terjadi. Dia mengeluh, sekarang orang sudah ramai-ramai meninggalkan dirinya.
Di jalanan, dia dikutuki karena nafsu berkuasanya. Anak-anaknya, buah hati kesayangan yang dicarikannya kerja dan jaminan hari tua itu, dijadikan bahan ejekan. Bahkan bau ketek menantunya menjadi persoalan. Di negeri yang suka sensasi ini, orang yang suka cari sensasi akan jatuh karena sensasi pula.
Sungguh situasi sangat berubah cepat. Belum lewat sepuluh hari, dia benar-beanr tampil sebagai Raja Gung Binatara di Keraton setengah jadi yang sedang dibangunnya. Dia memperlihatkan semua orang takut padanya. Baru beberapa hari lalu, dia ganti paksa penjaga wit ringin. Langkah yang berani, kejam, dan brutal. Namun tiba-tiba semua berbalik arah. Angin buritan berubah menjadi badai.
Satu hal yang sulit diingat oleh para politisi di negeri ini: jangan terlalu memanjakan anak! Kalau mau anakmu menggantikanmu, suruh dia meniti karir dari bawah. Jangan malah aturannya dibengkokkan.
Juga anak-anakmu dikontrol. Jangan sampai ketahuan hidup super mewah dan pamer. Seolah-olah mengentuti kaum mayoritas negeri ini, yakni orang miskin dan susah! Lha kalo mereka bersatu, dan persatuannya itu justru karena membenci kowe, kan berabe urusannya?
Kalau Anda ada saran, bagaimana Prabu Mulyono bisa keluar dari situasi yang dibikinnya sendiri ini, apa saran Anda? Jangan kasih saran seperti, "aja kemlinthi" ... itu telat.
(Penulis: Made Supriatma)