MULYONO
Tahun 2008, Majalah TEMPO menobatkan Mulyono sebagai tokoh pilihan mereka. Semacam ‘Man of the Year.” Sejak saat itu karir Mulyono melejit bak meteor.
Ketika itu tidak ada yang tahu bakat terpendam Mulyono, yaitu pintarnya dia menyamar menjadi rakyat biasa! Ia bahkan mengalahkan aktor kawakan Benyamin S. yang pernah bilang ‘tampang udik, rejeki kota.”
Mulyono kemudian menarik semua imajinasi kaum intelektual terdidik negeri ini, yang ketika itu juga tersihir dengan Barack Obama, orang kulit hitam yang menjadi presiden Amerika.
Seakan-akan, intelektual kelas menengah Indonesia ketika itu menemukan Obama van Sumber, kampung di Kota Solo.
Namun, Mulyono bukan Obama. Ia tidak pernah belajar hukum. Pengetahuan sejarahnya, bahkan sejarah negerinya setipis kulit bawang. Ia tidak pernah menjadi pembela HAM rakyat kecil. Bahkan nyaris dia tidak tahu apa-apa tentang HAM.
Tidak seperti Obama, dia bukan orator. Dia bahkan tidak pandai bicara. Apalagi berdebat. Ia sama sekali tidak punya kemampuan itu.
Tapi dia punya kemampuan yang bahkan Obama sendiri mungkin iri melihatnya. Ia mampu memproyeksikan citra sebagai orang kerja, kerja, kerja. Ia tampak energetik, tidak kenal lelah. Ditambah dengan narasi nasionalistis, jadilah dia sangat populer.
Dia tidak elitis, seperti yang dituduhkan orang kepada Obama. Ia tetap memproyeksikan diri sebagai rakyat biasa. Ketika diledek karena penampilannya “plonga-plongo,” ia hanya menjawab “aku rapopo.”
Ia seperti menyerap semua ledekan, ejekan, makian, dan hinaan itu. Yang tidak diperhitungkan adalah bahwa dengan bersikap demikian, ia membalikkan semua ledekan itu kepada para peledeknya.
Ia bahkan menjadi semakin populer karena tampak seperti korban. Kemudian, banyak orang yang tidak pandai, yang bahlul, tidak tampan, dan sederhana seperti yang ia presentasikan ke publik, merasa bahwa merekalah Mulyono yang plonga-plongo itu!
Mulyono jadi tampak bermoral lebih tinggi dari penghinanya. Padahal, didalam dirinya ia sama sekali tidak punya pegangan moral. Terbukti kemudian dia mampu menabrak semua etika dan aturan hanya untuk bisa berkuasa.
Kalau Anda melihat foto ini, Anda tentu tidak akan bisa membayangkan bahwa Mulyono ini akan bisa tidur dengan nyenyak di istana-istana termegah warisan kolonial. Anda tentu tidak akan bisa membayangkan bahwa ia akan menjadi penguasa tertinggi negeri.
Apa yang mengangkat derajat kemuliaan Mulyono ini? (Mulyono artinya mulia). Jawabnya sederhana: demokrasi! Hanya lewat demokrasi Mulyono bisa diangkat ke derajat kemuliaan sangat tinggi ini.
Bahkan kalau pun dia bisa menjadi konglomerat mebel, dia tidak akan se-mulyo ini! Hanya demokrasi yang mampu!
Ironisnya, Mulyono sama sekali tidak berterima kasih pada demokrasi. Mulyono sedikitpun tidak mengharagai demokrasi. Mulyono tidak sedikit pun berusaha agar demokrasi itu tumbuh.
Sebaliknya, ia berusaha membunuh demokrasi itu. Ia berusaha dengan semua kekuasaannya merampas demokrasi itu.
Mulyono beserta semua keluarga dan kroni-kroninya adalah ancaman bagi demokrasi kita.
Terserah kita, apakah kita akan membiarkan atau melawannya! Sikap sinis dan pesimis, hanya akan membuat Mulyono dan kroni-kroninya berjaya!
(Penulis: Made Supriatma)