Malu-maluin aja...

SUATA HARI, Abdullah bin Umar, anak dari Khalifah Umar bin Khattab, pernah memiliki seekor unta.

Abdullah bin Umar membeli unta yang teramat kurus. Setelah itu, ia menggembalakannya di padang rumput di Madinah.

Pada suatu hari, Khalifah Umar sedang pergi menjalankan sebuah pemeriksaan. Lalu, ia melihat seekor unta yang sangat gemuk. Unta itu berbeda dengan unta lainnya karena pertumbuhannya yang baik.

Khalifah Umar pun bertanya siapa pemilik unta itu kepada petugas yang ada di sana. 

Terkejutlah Umar bin Khattab setelah mengetahui bahwa pemilik unta itu adalah putranya sendiri, Abdullah bin Umar.

Bukannya senang, Umar bin Khattab justru merasa geram. Khalifah Umar merasa unta anaknya lebih gemuk karena mendapat perlakuan istimewa lantaran milik anak Khalifah.

Umar pun mengutus salah satu anak buahnya untuk memanggil anaknya.

Ketika Abdullah sampai di hadapan ayahnya, Umar mengelus-elus ujung janggutnya (jenggot) kebiasaanya ketika menghadapi urusan yang genting dan berkata kepada anaknya, “Unta apakah ini Abdullah?”

“Unta ini aku beli menggunakan uangku sendiri,” jawab Abdullah.

“Unta ini dulunya sangat kurus, lalu aku gembalakan di padang rumput, setelah sekian lama unta ini menjadi gemuk. Aku memperdagangkannya agar memperoleh keuntungan seperti yang diharapkan oleh orang lain,” Abdullah menjelaskan kepada ayahnya.

Umar membantahnya dengan nada keras yang meluap-luap, "Lalu ketika orang-orang melihat unta ini, mereka berkata, 'gembalakan unta anak Amirul Mukminin, rawatlah, berilah minum secukupnya', sehingga untamu menjadi gemuk dan berlipat keuntunganmu. Hai anak Amirul Mukminin!"

Lalu, Umar melanjutkan, “Hai Abdullah bin Umar, ambillah modal awal pokok yang kamu gunakan untuk membeli unta ini, dan kembalikan semua keuntungannya ke Baitul Mal."

Abdullah bin Umar pun tak marah. Dia mengikuti perintah ayahnya untuk hanya mendapatkan kembali modal dari unta yang dipeliharanya tersebut, sementara keuntungannya dimasukkan ke Baitul Mal.

Umar bin Khattab tidak ingin anaknya mengambil manfaat dari jabatan sang ayah, yang dapat memudahkannya dalam berbisnis dengan embel-embel ia adalah anak dari seorang Khalifah.

***

Hal ini kemudian juga berdampak kepada keputusan Umar bin Khattab untuk tidak melibatkan anaknya dalam bidang politik.

Umar bin Khattab meninggal pada Rabu, 3 November 644, karena ditikam oleh Abu Lu'luah (Fairuz) sewaktu sedang melaksanakan ibadah salat Subuh.

Dalam kondisi kritis, Umar bin Khattab menyampaikan pesan larangan kepada anaknya, Abdullah bin Umar untuk menjadi Khalifah penerusnya.

Padahal, rakyatnya tidak keberatan jika Abdullah bin Umar yang naik takhta menggantikan kedudukan Umar bin Khattab.

Akan tetapi, Umar bin Khattab tetap bersikukuh melarang anak-anaknya.

Seperti dinukil dari Sejarah Umat Islam karya Buya Hamka, Khalifah Umar saat sekarat dan hendak meninggal dunia memberikan arahan kepada kaum Muslimin soal pemilihan khalifah penggantinya. Saat itu beberapa sahabat yang hadir mendengarkan wasiat Umar, menyarankan kepada khalifah kedua tersebut untuk memilih anaknya, Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu sebagai penggantinya sebagai khalifah.

"Ya Amirul Mukminin, anak paduka itu lebih layak (secara kapasitas dan kemampuan) menerima jabatan khalifah ini, jadikan sajalah dia menjadi khalifah, kami akan menerimanya," kata sebagian Muslimin pada saat itu.

Bukannya mendorong anaknya maju menjadi khalifah, Umar justru langsung menolak. "Tidak ada keturunan Al Khattab hendak mengambil jabatan Khalifah ini untuk mereka, Abdullah tidak akan turut memperebutkan jabatan ini."

Setelah itu, Umar bin Khattab menoleh ke arah Abdullah bin Umar, anaknya. "Anakku Abdullah, sekali-kali jangan, sekali-kali jangan engkau mengingat-ingat hendak mengambil jabatan ini!"

"Baiklah ayah," jawab Abdullah bin Umar.

Wasiat dari ayahnya ini, dipatuhi Abdullah bin Umar, hingga akhirnya Utsman bin Affan terpilih menjadi pengganti Umar. Sampai kepada masa perebutan khalifah di antara Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah, Abdullah bin Umar menjadi sosok yang netral.(*)

Baca juga :