[PORTAL-ISLAM.ID] Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatra Utara, memvonis Ketua Komunitas Adat, Ompu Umbak Sialaggan atau Sorbatua Siallagan, dengan hukuman penjara selama dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar yang jika tidak dibayarkan maka diganti hukuman kurungan enam bulan.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sorbatua Siallagan dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama enam bulan," kata Ketua Majelis Hakim Dessy Ginting, Rabu (14/8/2024).
Sorbatua didakwa atas tuduhan pengerusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun yang izin konsesinya dipegang PT Toba Pulp Lestari.
Dalam pertimbangan hukumnya, Ketua Majelis hakim, Dessy Ginting, mengatakan bahwa klaim tanah ulayat sebagaimana yang dijelaskan terdakwa "tidak terbukti berdasarkan keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan".
Sementara untuk mendudukkan perkara ini, hakim menilai harus ada legal formal sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.
"Menimbang bahwa status tanah ulayat yang dimohonkan masih sebatas usulan," uar Hakim Dessy.
Sebelumnya masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, menuntut pembebasan tetua mereka, Sorbatua Siallagan, yang ditangkap polisi pada 22 Maret 2024.
Kakek berusia 65 tahun itu mendekam di sel tahanan Polda Sumatra Utara.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menduga penangkapan Sorbatua adalah bentuk "kriminalisasi" di tengah perjuangan masyarakat atas tanah adat mereka.
"Cara-cara ini selalu dipakai oleh perusahaan menggunakan institusi kepolisian supaya menghalau, agar masyarakat adat berhenti berjuang untuk tanahnya," kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak.
Sorbatua hanyalah satu dari puluhan orang dari berbagai komunitas adat di sekitar Danau Toba yang pernah diperiksa sebagai saksi, ditetapkan sebagai tersangka, hingga divonis penjara imbas konflik lahan di wilayah sekitar operasional PT Toba Pulp Lestari.
Dalam menangani kasus-kasus ini pun, Hengky menuding penegak hukum tidak mempertimbangkan perspektif masyarakat adat. Itu diperburuk oleh nihilnya pengakuan pemerintah atas hak tanah masyarakat adat.
Masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan sendiri disebut telah beratus-ratus tahun mendiami wilayah itu.
“Kalau cara ini tidak kami protes dan tidak kami suarakan, akan banyak masyarakat adat yang menjadi korban,” kata Hengky.
Ketika dikonfirmasi, juru bicara PT Toba Pulp Lestari, Salomo Sitohang, menyebut kasus Sorbatua sebagai “tindakan kriminal murni”.
Salomo menyatakan komunitas adat Ompu Umbak Siallagan tidak pernah mengajukan klaim tanah adat melalui skema perhutanan sosial kepada perusahaan.
Polisi juga mengutarakan hal senada.
“Sorbatua tidak memiliki dasar atau hak apapun dalam mengerjakan atau menduduki kawasan hutan yang merupakan areal konsesi milik PT TPL,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi.
Menurut polisi, Sorbatua dan komunitasnya “menguasai lahan milik PT Toba Pulp Lestari seluas kurang lebih 162 hektare”.
Namun terlepas dari kasus hukum yang menjerat kakeknya, cucu dari Sorbatua, Veronika Siallagan, mengatakan "tidak akan berhenti berjuang" untuk mempertahankan tanah adat mereka dari aktivitas perusahaan yang jaraknya kian dekat ke kampung.
"Dari bibir kampung jaraknya hanya 300 meter, dari gereja kami tidak sampai 300 meter. Wajar kami pertahankan, itu tanah nenek moyang kami," kata Veronika kepada BBC News Indonesia.
(Sumber: BBCIndonesia)