Kecemasan Jokowi di Ujung Jabatannya

Tukang Kayu Menebang Beringin?
(kajian kecil seputar mundurnya Airlangga dan kecemasan klan Jokowi)

Oleh: Budi Saks

Marak sejak Airlangga Hartarto mengundurkan diri secara tiba-tiba dari kursi ketua Golkar maka berbagai spekulasi pun bermunculan baik oleh media, analis politik maupun masyarakat. Tak kurang juga beberapa kawan meminta saya untuk menuliskan analisa dari sudut pemikiran saya baik lewat inboks maupun komen di laman medsos saya.

Kenapa Airlangga mengundurkan diri? Apakah ia dalam tekanan lawan politik ataukah ada hal yang lebih dalam lagi yang publik tak ketahui dan apakah betul karena Jokowi ingin menguasai Golkar?

Untuk menjawab itu semua kita harus pilah dulu kondisi masing masing pihak yang menjadi faktor terjadinya situasi tersebut.

(1) Kita mulai dari Jokowi

Harus dipahami dan dimengerti bahwa setelah kemenangan koalisi 02 pada Pilpres 2024 lalu bukan berarti ketenangan bagi Jokowi dan klannya ini. Berbeda dengan Prabowo yang benar-benar menang dalam segala aspeknya.

Klan Jokowi justru menyimpan kecemasan dibalik kemenangan kubu mereka ini sebab kemenangannya hanyalah sebatas jabatan Wakil Presiden yang dalam berbagai pengalaman politik bangsa posisi Wapres adalah posisi seremoni tanpa power seperti Ma'ruf Amin yang cuma jadi bagian gunting pita dan baca doa atau Boediono yang sekedar pelengkap penderita saja di masa SBY. Apalagi sama dengan kedua wapres terdahulu itu Gibran juga bukan wapres yang jabat ketua partai.

Beda dengan Jusuf Kalla (saat jadi Wapres) yang sangat berperan dan memiliki bargaining power dimasa SBY karena partainya (Golkar) lebih besar dari partai presidennya itu sendiri. Lain Gibran yang partainya (PSI) gagal lolos ke Senayan.

Padahal setelah didepak dari PDIP menyusul perpecahan Jokowi dengan Mega tersebab oleh berpindahnya haluan Jokowi ke kubu Prabowo, otomatis Jokowi kehilangan perahu yang selama ini jadi andalannya dalam arungi samudra politik Indonesia yang arusnya ganas dan sulit ditebak. Sementara jabatan sebagai presiden tak lama lagi resmi berpindah ke Prabowo, sedang putranya hanya jadi wakil yang tak memiliki bargaining power melawan seorang jenderal yang juga ketua partai.

Jadi sampai disini anda sudah dapat membaca bagaimana kondisi psikologis klan Jokowi.

Dan itu sebabnya ia terus mencari partai lain yang sekiranya bisa dibeli dan ditumpangi sebagaimana PSI yang bisa dibelinya jelang kampanye pilpres 2024 dengan deal harga yang cocok include paket perombakan pengurus yang langsung tempatkan anak bungsunya jadi ketua partai.

(2) Sementara itu bila kita membahas Golkar...

Golkar adalah satu dari tiga partai tertua dan terbesar sejak era Orde Baru yang sifatnya berbeda dengan dua partai era Orba, dimana Golkar ini mungkin satu-satunya partai yang bukan hasil dari fusi (penggabungan) partai-partai sealiran seperti PDI/PDIP dan PPP.

Sebagaimana PDIP, partai Beringin ini juga berhasil survive dari hantaman badai reformasi yang menumbangkan segala hal yang dianggap sebagai warisan Orde Baru yang pada era Airlangga Hartarto justru memperoleh peningkatan suara dan jadi pendukung terkuat koalisi Prabowo.

Dan berbeda dengan PDIP atau Gerindra atau Demokrat, maka Golkar ini kuat dan besar justru bukan oleh "sosok ketuanya" atau sentralitas komando partai pada Ketua Umum, sebab di Golkar terlalu "banyak orang-orang kuat dan berpengaruh" yang masing-masing memiliki massanya sendiri sendiri seperti faksi Akbar Tanjung, faksi Luhut, faksi Bahlil, faksi JK, faksi Aburizal Bakrie, faksi Setya Novanto dan beberapa faksi lain yang sama-sama bernaung dibawah beringin besar ini. Bahkan tokoh tokoh besar seperti Prabowo Subianto, Surya Paloh, Wiranto dan beberapa nama lagi itu awalnya adalah dari Golkar, yang merasa kapasitasnya dan potensi dirinya tak bisa ditampung dibawah naungan beringin yang sudah penuh sesak itu.

Pertanyaannya: sanggupkah seorang Jokowi menebang pucuk kekuasaan pohon beringin yang batang-batang dan rantingnya saja terdiri dari para konglomerat?

Apa iya Jokowi sanggup melawan Aburizal Bakrie?

Apa sanggup Jokowi melawan ketidaksukaan JK terhadap rencananya menjadi ketua di partainya?

Karena tokoh-tokoh di Golkar sendiri mengangkat Airlangga juga melalui Mukernas partai, jadi ada rencana Jokowi masuk melalui Bahlil (yang mana si Bahlil ini juga di kabinet mulai banyak bersitegang dengan Luhut walau sama-sama dari Golkar) untuk memajukan mukernas Golkar dari jadwalnya di bulan Desember jadi November atau September (bahkan kabarnya di bulan Agustus ini) tak lain buat memuluskan jalan Gibran masuk jadi ketua Partai melalui Mukernas luar biasa atau Mukernas yang dipercepat (dengan segala rekayasa tentu saja).

Jokowi sendiri bisa masuk Golkar hanya bila skenarionya melalui Bahlil berhasil namun itupun hanya sebagai salah satu Ketua Dewan Pembina partai saja dimana ia harus bersisian dengan tokoh-tokoh sepuh Golkar lainnya yang kualitasnya diatas rata-rata.

Jadi disini kita sudah bisa melihat bagaimana kondisi psikologis klan Jokowi yang sedang dalam masa kepanikan yang terlihat dari manuver-manuvernya yang dobrak sana dobrak sini berusaha masuk kemana ada ruang aman dan nyaman buat amankan satu klan nya beserta gank Solonya.

Hari-hari ini adalah momen penentuan nasib klan Jokowi kedepannya...survive atau tidak.

Itu saja.

(fb)

Baca juga :