PDIP Bergeming, Koalisi Perubahan Berubah Menumbalkan Anies Baswedan
Maka otomatis daya tekan PDIP akan jauh lebih besar dan kuat saat ini berada di luar pemerintahan dibandingkan eranya SBY. Apalagi PDIP baru saja keluar dari dalam pemerintahan setelah sepuluh tahun. Artinya, modal PDIP untuk mengoreksi pemerintahan Prabowo-Gibran dari luar, begitu melimpah.
PDIP memang tak sama dengan NasDem, PKB, dan PKS. PDIP tak mau bagian kecil, makanan sisa, main di pinggir-pinggir lapangan, sekadar ikut rombongan saja. PDIP ingin bagian besar, makan di meja makan utama, main di tengah lapangan, dan menjadi kepala rombongan. Tak sekadar ikut dan tak tahu mau sampai di mana.
Sebetulnya Prabowo-Gibran ingin sekali menarik PDIP ke dalam pemerintahan, karena sejak awal temanya sama soal keberlanjutan. Tapi PDIP punya persoalan yang serius antara Jokowi dan Megawati. Persoalan itu agaknya tak akan selesai persis persoalan antara SBY dan Megawati. Bahkan lebih dalam lagi dari itu.
Kalau PDIP bersedia ditarik ke dalam, maka sebetulnya NasDem, PKB, dan PKS, tak diperlakukan lagi oleh KIM. Apalagi tema dari ketiga partai ini perubahan, bukan keberlanjutan. Semua program Prabowo-Gibran tak ada yang disetujuinya. Bahkan cenderung diolok-olok. Pendukungnya bak minyak dan air saja dengan pendukung Prabowo-Gibran. Tak bisa bertemu.
Tapi saat kalah, belum lagi resmi diumumkan, NasDem misalnya, sudah mengangkat bendera putih ingin gabung pemerintahan. PKB mesti menunggu pengumuman resmi baru mengirim sinyal ingin bergabung. PKS malah memohon sekali ingin diajak gabung seperti dinyatakan Presiden PKS berada waktu lalu. PKS jauh sekali dibandingkan PDIP soal konsistensi.
Bahkan, ketiga partai pengusung tema perubahan ini tega meninggalkan, bahkan mengorbankan simbol mereka, yakni Anies Baswedan, di luar sendirian. Ketiganya seperti sepakat untuk tak mengusung Anies Baswedan maju Pilkada Jakarta seperti yang sudah dijanjikan, bahkan dideklarasikan secara resmi. Macam-macam yang disebut sebagai alasan.
Demi kebaikan Jakarta dan Indonesia-lah. Alasan dewa-dewa-lah. Termasuk alasan tenggat waktu yang diberikan kepada Anies. Macam betul aja. Tenggat waktu itu dibikin KPU, bukan partai sendiri. Kalau tak ingin mengusung bilang saja tidak. Pakai alasan aneh-aneh. Koalisi Perubahan memang paling cepat berubah demi ambisi kuasa semata. Begitu saja paling enak. Dikira orang ini bodoh semua. Mudah dikibuli alasan murahan itu.
Ini pertanda bahwa sepuluh tahun PKS berada di luar pemerintahan, bukanlah pilihan sadar. Hanya karena saat itu memang tak diizinkan PDIP masuk ke Istana. Ini tak bisa dielakkan lagi. Koalisi PKS dan PDIP di tingkat pusat memang belum dimungkinkan. Kendati selalu disebut mungkin dengan contoh di beberapa daerah. Jangankan dalam satu pemerintahan, sama-sama sebagai oposisi pun tak dimungkinkan.
Jangankan koalisi Pilkada Jakarta, koalisi di Sumatera Utara saja tak bisa. PKS mengelak mendukung Edy Rahmayadi yang diusung PDIP. Padahal dulunya Edy Rahmayadi diusung oleh PKS. PKS bisa saja mengusung Anies bersama PDIP di Jakarta. Tapi PKS memang tak akan serius mengusung Anies, sehingga memilih membangun koalisi selain dengan PDIP. Politik kita memang cair, tapi yang beku-bekunya tetap ada dan terpelihara sampai sekarang. Tega menjadikan orang lain sebagai tumbal demi kepentingan politiknya, itu di antara yang beku dalam politik kita.
(Oleh: Erizal)