[PORTAL-ISLAM.ID] Mahkamah Konstitusi (MK) benar-benar bikin kejutan yang sungguh sangat tidak terduga.
Kaesang anaknya Jokowi yang sudah dipersiapkan Maju di Pilgub Jateng (sebelumnya mau maju di Jakarta), sekarang harus gigit jari.
Awalnya MA mengubah syarat usia calon gubernur, yang harusnya (menurut UU) genap berusia 30 tahun pada saat penetapan calon, oleh MA diubah jadi berusia 30 tahun saat pelantikan.
Sebuah keputusan paling membagongkan!
Demi memuluskan Kaesang, yang biasanya syarat usia saat penepatan calon, diubah saat pelantikan.
Sekarang MK telah membuat keputusan final (Putusan MK bersifat final), bahwa syarat usia calon di Pilkada dihitung pada saat penetapan calon, bukan saat pelantikan.
MK Tolak Gugatan UU Pilkada: Syarat Usia Dihitung saat Penetapan Cagub
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terhadap Undang-Undang tentang Pilkada. Namun dalam pertimbangannya, MK menyatakan syarat usai calon kepala daerah harus dihitung saat penetapan pasangan calon.
Sidang putusan perkara nomor 70/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Fahrur Rozi, dan mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee, digelar di Gedung MK, Selasa (20/8/2024).
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan praktik yang ada selama ini berlangsung menunjukkan perhitungan syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. MK mengatakan penghitungan syarat usia calon kepala daerah telah dihitung saat penetapan pasangan calon pada Pilkada 2017, 2018 hingga 2020.
MK mengatakan penghitungan serupa juga diterapkan untuk pendaftaran calon presiden-wakil presiden hingga calon anggota legislatif.
Menurut MK, jika ada perbedaan perlakuan soal kapan penghitungan syarat usia bagi calon kepala daerah, maka sama saja membiarkan ketidakpastian hukum.
"Persyaratan usia minimum, harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon," ujar MK.
"Titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah," sambung MK.
MK mengatakan norma pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada itu sudah jelas dan terang benderang. MK mengatakan tidak perlu ada penambahan makna apapun.
"Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pada pendekatan historis, sistematis dan praktik selama ini, dan perbandingan, pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cheto welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon," ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra.
MK menegaskan pertimbangan dalam putusan ini mengikat pada semua penyelenggara Pemilu dan warga. MK mengatakan calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur UU, maka calon itu dapat dinyatakan tidak sah oleh MK dalam sidang sengketa hasil Pilkada.
"Persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon," ucap Saldi.
Meski demikian, MK menolak untuk menambahkan pemaknaan baru terhadap pasal tersebut. MK menilai penambahan pemaknaan dapat menimbulkan permasalahan hukum lain pada syarat-syarat yang telah diatur dalam UU Pilkada.
"Bilamana terhadap norma pasal 7 ayat 2 huruf e UU 10/2016 ditambahkan makna seperti yang dimohonkan para pemohon, norma lain yang berada dalam rumpun syarat calon berpotensi dimaknai tidak harus dipenuhi saat pendaftaran, penelitian dan penetapan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah," ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo.
(Sumber: Detik)