Iran, Mossad, Hamas, dan Proyeksi Axis of Resistance (Poros Perlawanan)

Iran, Mossad, Hamas, dan Proyeksi Axis of Resistance (Poros Perlawanan)

Oleh: Tengku Zulkifli Usman*

Terbunuhnya Pimpinan Hamas Ismail Haniyah di Iran adalah murni operasi intelijen Israel, Mossad.

Operasi intelijen Israel ini sifatnya reguler di negara-negara muslim, baik Iran atau di berbagai negara lainnya.

Mossad aktif beroperasi di berbagai negara muslim, dari Timur Tengah sampai Eropa, dari Asia Barat sampai Asia tenggara.

Hanya saja, tidak semua rencana Mossad berjalan lancar. Di Turki, Qatar, Nigeria, Oman, misalnya, Mossad mengalami kesulitan paling akut dalam menjalankan operasinya.

Iran sendiri adalah "special case", karena Iran sejak 1979 adalah negara musuh Israel, negara yang benar-benar ada dalam situasi "perang dingin" dengan Israel.

Beda dengan Qatar, Turki, dan beberapa negara lain, Israel kesulitan di Qatar karena hubungan baik antara rezim Al Khalifa Qatar dengan Ikhwanul muslimin yang cukup kuat sejak puluhan tahun silam.

Di Turki, sejak Erdogan naik tahta, nyaris Mossad disweeping dan dibersihkan, bahkan hal seperti ini dilakukan Turki sampai detik ini. Dalam dua tahun terakhir saja misalnya, Turki menangkap kurang lebih 1000-an orang yang terkoneksi dengan jaringan Mossad.

Operasi intelijen Israel Mossad juga tidak luput terjadi di Palestina itu sendiri, di Jalur Gaza dan Tepi Barat banyak agen Israel berkeliaran dan menjalankan misinya. 

Hanya saja di Gaza, sejak Hamas menguasai Jalur Gaza secara full sejak 2007, Agen agen Mossad mengalami kesulitan tingkat tinggi dalam menjalankan aktivitasnya.

Sebagai contoh, pada perang besar terakhir antara Israel dan Hamas sebelum 7 Oktober, Hamas menangkap dan mengeksekusi mati kurang lebih 20-an orang agen intelijen (orang Palestina) yang berafiliasi dengan Mossad.

Massifnya aktivitas Mossad di seluruh Timur Tengah inilah yang menyebabkan banyak tokoh tokoh Iran dan tokoh-tokoh Poros Perlawanan dieliminasi Israel, dari tokoh Hizbullah, Jihad Islami, Houthi di Yaman, Hamas, Kataib Fathimiyah Suriah, Kataib Syuhada Irak dll.

Pusat operasi Mossad di Timur Tengah ada di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan sekarang bertambah Mesir pasca lengserkan Muhammad Mursi. Mesir dari dulu sampai sekarang adalah strong hold (pegangan kuat) bagi aktivitas Mossad kecuali hanya di era Mursi.

Negara lain yang sangat aktif membantu Mossad antara lain seperti Bahrain dan Jordania. Selain Turki, Qatar dan Iran, hampir semua negara di Timur Tengah aktif mensupport operasi Mossad.

Kembali ke "special case" Iran, Iran posisinya beda dengan Turki dan Qatar. Iran adalah negara yang mengalami embargo full dari barat, pemboikotan senjata, alutsista, ekonomi, ekspor impor, dan hampir seluruh aspek di Iran mengalami embargo barat.

Iran adalah "Common Enemy" bagi semua sekutu Israel, dari AS sampai Eropa. Itulah kenapa, Iran mengalami sasaran intelijen Israel, Inggris, Prancis, AS, dan semua sekutunya paling parah sepanjang tahun setiap saat.

Tidak ada negara di Timur Tengah yang mengalami sasaran intelijen asing paling hebat seberat apa yang dialami Iran.

Faktor inilah yang membuat Iran memutuskan membangun proxy besar pro Iran di seluruh timur tengah. Mulai dari Hizbullah sejak 1982, menyebar ke Irak dan Suriah setelahnya, Houthi di Yaman pasca Arab spring, dan Iran akhirnya memutuskan membackup Hamas sejak era 1990 an. 

Sampai saat ini, Iran memiliki proxy militer paling besar di dunia, Iran membawahi tidak kurang 250.000 milisi bersenjata di seluruh Timur Tengah, termasuk Hamas di jalur Gaza.

Dalam sejarah perang dan konflik Palestina-Israel atau Hamas-Israel sejak Hamas berdiri, Iran adalah negara satu satunya yang konsisten memberikan support ke Hamas tanpa lelah.

Sejak tahun 2000an, Iran mensupport kurang lebih 300 - 400 juta dolar setiap tahun kepada Hamas. Baik Gaza dalam kondisi damai atau dalam kondisi perang dengan Israel.

Bantuan Iran ke Hamas adalah bantuan terbesar Iran kepada faksi bersenjata aliran Sunni di seluruh dunia. Tidak ada negara yang konsisten membantu Hamas dengan angka sebesar itu setiap tahun. Termasuk bantuan Qatar dan Turki itu sendiri.

Axis of Resistance atau poros proxy Iran di seluruh Timur Tengah, dari Hamas sampai Houthi, dari Irak sampai Suriah, semua menginduk ke Iran. Baik militer maupun finansial.

Negara-negara sunni sendiri abai dan termasuk tidak terlalu peduli dengan Palestina, termasuk Arab Saudi yang merupakan salah satu negara yang sangat menginginkan damai dengan Israel dalam proyek Abraham Accords, dan paling menginginkan Hamas tidak ada.

Terhadap apa motivasi Iran dalam membantu Hamas, itu adalah poin yang tidak penting. Yang paling penting adalah ril bantuan kepada Hamas dan Palestina terutama ketika mereka membutuhkan bantuan itu untuk melawan Israel, baik dana, diplomasi, maupun senjata.

Terkait apa motivasi Iran di seluruh kawasan Timur Tengah dengan semua proxy mereka melawan Israel atau hegemoni AS, itu soal soal lain yang tidak terlalu penting bagi kaum muslimin di dunia.

Faktanya di lapangan, Iran adalah negara paling kokoh dalam mendukung Hamas dalam melawan penjajahan Israel. Tanpa Bantuan Iran, kita tidak akan melihat kekuatan Hamas yang terus bertumbuh, dari melempar batu kerikil sampai mampu memproduksi roket jarak jauh yang mampu menembus ke jantung kota Tel Aviv.

Banyak negara lain ikut membantu Hamas, termasuk Turki, Qatar, Malaysia, Indonesia dll. Tapi bantuan Iran adalah yang paling signifikan dan paling impact full bagi perkembangan militer Hamas terutama.

Hamas hari ini mampu menjadi ancaman eksistensi bagi Israel, salah satunya karena keterlibatan Iran yang terus memberikan berbagai support. Dari dana, intelijen, penasehat militer, sampai transfer teknologi ke jalur Gaza.

Terbunuhnya pimpinan Hamas di Iran tidak bisa menutup fakta bahwa Iran adalah salah satu negara tujuan berlindung tokoh-tokoh Hamas selain Qatar dan Turki.

Soal kegagalan intelijen yang dialami Iran sehingga terjadi pembunuhan terhadap pimpinan Hamas, hal ini bisa terjadi kapan saja dan kepada negara mana saja secara unpredictable. Semua negara hampir pernah mengalami kegagalan intelijen maupun konter intelijen.

Israel sendiri yang memiliki dua dinas rahasia yang katanya sangat digdaya, yaitu Shin Bet dan Mossad. Mereka sendiri mengalami kegagalan intelijen sangat fatal di tanggal 7 Oktober 2023 lalu saat Hamas menyerang dan membunuh 1400 orang Israel dalam sehari. Ini adalah sejarah kelam bagi Israel sejak kejadian Holocaust pada perang dunia II.

Soal-soal kegagalan intelijen adalah hal-hal yang tidak bisa presisi terprediksi dengan baik. Iran dengan kategori negara dengan sasaran intelijen asing sekutu Israel paling parah, sejauh ini bisa dikatakan masih under control.

Mossad tidak sendirian dalam beroperasi, tanpa bantuan AS, dan semua sekutunya di eropa, mustahil operasi intelijen untuk mengeliminasi pimpinan Hamas bisa terwujud.

Izin membunuh pimpinan Hamas adalah murni lampu hijau dari AS, saat Netanyahu berkunjung ke AS dua pekan lalu dan berpidato di kongres.

Netanyahu di kongres AS waktu itu meminta bantuan senjata, dana, intelijen, approval dalam segala bidang untuk melawan Hamas. Netanyahu berkata di depan kongres AS: Give us a tools and we will finish the job (Berikan kami alat dan kami akan menyelesaikan pekerjaannya).

Kondisi Poros Perlawanan setelah terbunuhnya Ismail Haniyah secara substansial tidak terpengaruh, hanya memang membutuhkan waktu untuk Hamas untuk melakukan reformasi organisasi, penataan intelijen, dan konsolidasi internal sambil terus melakukan perang di jalur Gaza melawan Israel.

Axis of Resistance masih menjadi tumpuan harapan besar bagi proses melawan penjajahan Israel, saat Hamas sendiri tidak bisa berharap kepada negara sunni lain di Timur Tengah.

Mencela Iran karena terbunuhnya pimpinan Hamas Ismail Haniyah adalah sikap dangkal dalam memahami Geopolitik secara utuh, dan sikap ini bagian dari kebodohan umat Islam dalam memahami peta musuh dan strategi Israel secara mendasar.

Mencela Iran karena kegagalan intelijen tanggal 31 Juli kemarin adalah upaya melokalisir dan mempersempit masalah, upaya untuk menyerang Iran sebagai negara Syiah untuk membenturkan umat Islam, karena sesungguhnya perang yang terjadi gak ada kaitannya dengan Sunni atau Syiah. Ini murni konflik Geopolitik dengan semua dimensinya.

Perang kedepannya adalah "atrition war". Bahkan Israel yang merasa saat ini menang sebenarnya adalah pihak yang kalah dan akan bisa dikalahkan dimasa depan.

Pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan Israel kepada tokoh dan pimpinan Axis of Resistance adalah upaya Netanyahu untuk mentrigger perang kawasan yang lebih besar. Dengan tujuan mendorong AS terlibat melawan Iran dan semua proxy nya.

Iran dan Axis of Resistance tidak perlu terpancing untuk perang melawan Israel skala "all out war". Karena itu justru menguntungkan Israel dan sekutunya. Justru itu akan membuat Axis of Resistance dimasa depan akan melemah.

Perang 9 bulan selama ini trend nya positif terhadap Palestina secara Geopolitik. Dan ini negatif bagi Israel dan sekutunya di seluruh kawasan. 

Jika Iran melakukan perang besar saat ini untuk melawan Israel, justru inilah yang diinginkan Israel, semua provokasi Israel bertujuan menumbangkan Iran yang merupakan payung bagi semua poros Axis of Resistance.

Israel membutuhkan perang besar, yang dengan itu dia ingin memastikan keterlibatan AS untuk membuat Iran seperti Irak. Dan ujung di semua proses ini adalah melemahkan semua faksi perlawanan terhadap Israel sehingga peristiwa 7 Oktober tidak terulang kembali.

Iran dan Axis of Resistance perlu terus menjaga nafas perlawanan dan tidak perlu masuk dalam perangkap provokasi Netanyahu. Pemenang perang atrisi adalah bukan yang paling kuat, tapi siapa yang paling bisa bertahan lama dan beradaptasi dengan perang dan strategi musuh.

*Tengku Zulkifli Usman, Pengamat GeoPolitik, Pengurus DPP Partai Gelora, dan Dewan Pakar TKN Prabowo Gibran bidang Hubungan Internasional.

Baca juga :