Fenomena Chindo Mualaf
Oleh: Arif Wibowo
Chindo (China Indonesia) Mualaf adalah sebuah fenomena yang menarik di media sosial, terutama yang berplatform video.
Dulu yang kondang ada nama Anton Medan. Beberapa waktu lalu ada alm. Koh Stephen Indra Wibowo. Kini ada Koh Hani, Dondy Tan, Jesellyn dan tentu saja mama Elly.
Pasang surut relasi keturuan Tionghoa dengan muslim negara ini memang mengalami pasang surut yang tinggi.
Ada fase dimana banyak pedagang Tionghoa yang datang ke negeri ini adalah para pedagang muslim dari Kanton, ini terjadi pada era Majapahit. Ada juga Laksamana Cheng Ho dengan ekspedisi politiknya.
Ketika Belanda melakukan pembantaian kaum Tionghoa di Batavia, banyak diantara mereka yang lari ke Jawa Tengah, bergabung dengan para Pangeran Jawa untuk melakukan perlawanan dan banyak diantara mereka yang masuk Islam.
Hubungan memanas dan bermusuhan (antara kaum Tionghoa dan Muslim) ketika Belanda menjadikan pribumi warga negara kelas 3 dan orang Asia Timur Jauh (diantaranya Tionghoa) jadi warga kelas 2. Khusus untuk orang Tionghoa mereka dijadikan sebagai petugas Pemungut Pajak pada era tanam paksa. Sehingga kebencian tertuju pada mereka.
Ketika Tiongkok merdeka dari penjajahan Inggris, orang-orang Tionghoa merasa bangga dan lebih tinggi derajatnya dari orang Jawa. Akhirnya KH. Samanhudi keluar dari paguyuban Kongsing dan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Kerusuhan Jawa - Cina pun pecah. Demikian juga di Kudus, pecah perang antara juragan rokok Jawa dengan Cina.
Dan kata beberapa sejarawan, sejak saat itu, Islam menjadi agama yang tertolak di kalangan keturunan Cina di Jawa.
Oleh karena itu, ketika Soeharto dengan Orde Barunya melarang agama Kong Hu Cu dan segala hal yang berbau Cina, maka warga keturunan Cina menjatuhkan pilihan keagamaannya pada Kristen Protestan dan Katolik, karena keluarga mereka banyak yang bersekolah di yayasan kedua agama tersebut sejak jaman Belanda.
Kalau ke Katolik tidak bermasalah karena sifat universalnya. Sementara konstruk gereja Protestan di Indonesia, yang didesain di era kolonial itu berbasiskan gereja suku, jadi ada kendala etnis yang cukup problematik.
Akhirnya banyak diantara mereka yang masuk ke denom-denom gereja asal Amerika, yang spirit penginjilan langsungnya tinggi. Generasi kedua dari kelompok warga keturunan Tionghoa ini banyak yang menjadi militan Kekristenannya.
Ketika Gus Dur jadi presiden, ia kembali mengakui eksistensi agama Konghucu, dan ini cukup menimbulkan gegar keagamaan di beberapa keluarga Tionghoa. Generasi tuanya banyak yang kembali ke agama Konghucu meski anak mudanya kebanyakan bertahan di agama Kristen.
Akan tetapi, gegar agama ini, sepertinya memicu "pencarian spiritual" yang menyebabkan banyak diantara mereka berkelana dari satu agama ke agama lainnya, dan termasuk Islam sebagai target yang dipelajarinya.
Dan memang sudah sejak lama, H. Junus Yahya, pendiri PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) menyatakan bahwa Islamnya keturunan Tionghoa itu adalah pintu rekonsiliasi yang sesungguhnya. Sebab watak dasar Islam itu anti rasisme. Ini penting untuk penghilang aneka stigma yang terlanjut menetap pada kedua kubu yang tak jarang menghasilkan gesekan bahkan bentrokan.
Dan bagi elemen dakwah, yakni ormas, mubaligh, penulis dan konten kreator muslim, sepertinya perlu narasi-narasi baru yang lebih menyegarkan dan mendekatkan kedua belah pihak. Sebab, hanya kenal dengan Arafah saja, Steven Wongso sudah bikin konten belajar Iqro'. 🤭
(*foto: Alm. Anton Medan)