[PORTAL-ISLAM.ID] LONDON - Sejak perang di Gaza dimulai pada bulan Oktober, lebih dari 12 perusahaan multinasional yang mendukung “Israel” telah menghadapi boikot konsumen yang meluas, lapor TIME.
Boikot tersebut berdampak nyata, yang mengakibatkan penurunan penjualan, PHK, dan kerusakan reputasi yang signifikan.
Namun, hal itu juga menciptakan peluang bagi merek-merek baru untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan besar.
Salah satu alternatif tersebut adalah Cola Gaza, yang memasuki pasar Inggris bulan ini. Selain Cola Gaza, Palestine Drinks, sebuah perusahaan yang berbasis di Swedia yang memulai debutnya pada bulan Maret dan melayani UE, Inggris, dan Afrika Selatan.
Mohamed Kiswani, Direktur Komunikasi Safad Food, perusahaan induk Palestine Drinks milik Palestina, mengatakan kepada TIME bahwa minuman tersebut sangat diminati, dengan alasan perusahaan tersebut “tidak menyangka akan sepopuler ini”.
Kiswani mengungkapkan telah menjual hampir 16 juta kaleng dalam 5 bulan terakhir dengan pendapatan yang disumbangkan kepada organisasi yang membantu masyarakat sipil Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
Mohamed Kiswani, memberi tahu TIME bahwa permintaan akan soda tersebut saat ini sangat besar.
“Kami tidak menyangka akan sepopuler ini,” katanya, seraya mencatat bahwa merek tersebut telah menjual sekitar 16 juta kaleng dalam lima bulan terakhir, yang hasilnya disumbangkan untuk proyek-proyek yang mendukung masyarakat sipil Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
Menurut Kiswani, “Kami tidak menjual minuman,” melainkan “Kami menjual merek ‘Palestina,’ untuk membuat orang lebih banyak berbicara tentang genosida yang sedang terjadi.”
Biasanya, boikot konsumen untuk mendukung Gaza berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, tetapi boikot dan pemboman saat ini telah berlangsung lebih dari 10 bulan.
Brayden King, pakar boikot di Sekolah Manajemen Kellogg Universitas Northwestern, mengatakan kepada TIME bahwa meskipun sebagian besar upaya boikot memiliki sedikit pengaruh jangka panjang pada perilaku konsumen, mereka yang memiliki pengaruh tersebut dapat menggunakan pengawasan publik untuk keuntungan mereka.
“Orang-orang saling bertanggung jawab,” katanya—tugas yang jauh lebih mudah dilakukan jika menyangkut komoditas yang umum digunakan dalam situasi sosial, seperti makanan dan minuman.
Namun, indikator lain dari boikot yang efektif adalah kemampuannya untuk menyebabkan kerusakan reputasi jangka panjang bagi perusahaan. Sementara sebagian besar boikot memudar setelah 90 hari, menurut King, boikot yang terinspirasi Gaza telah jauh melampaui itu, sebagian besar disebabkan oleh genosida zionis “Israel” yang sedang berlangsung.
Sejak penjajah “Israel” melancarkan serangan balasan ke Gaza pada 7 Oktober, lebih dari selusin perusahaan multinasional yang dianggap mendukung penjaah “Israel” telah menjadi sasaran boikot warga dunia.
Di antaranya adalah Coca-Cola Company (yang mengoperasikan pabrik di Tepi Barat yang diduduki “Israel”), McDonald’s (yang pemegang waralabanya telah memberikan makanan gratis dan diskon kepada tentara “Israel” dan pasukan penjajah setelah 7 Oktober), dan Starbucks (yang menggugat serikat pekerja Starbucks Workers United atas pelanggaran merek dagang atas unggahan media sosial yang telah dihapus yang menyatakan dukungan untuk warga Palestina).
Boikot tersebut berdampak nyata, yang mengakibatkan penurunan penjualan, PHK, dan kerusakan reputasi yang tak terhitung. Namun, boikot tersebut juga telah memberi jalan bagi merek-merek baru dan yang sudah ada, beberapa di antaranya telah menggantikan posisi perusahaan multinasional besar.
Di Yordania, misalnya, lokasi McDonald’s dan Starbucks—yang setahun lalu mungkin penuh sesak dengan pelanggan—hampir kosong. Meskipun produk seperti Coca-Cola dan Pepsi (yang juga telah dicemooh karena mengakuisisi SodaStream, produsen minuman yang berbasis di “Israel”) masih dapat ditemukan di rak-rak supermarket Timur Tengah, produk-produk tersebut sering dipajang di samping tanda-tanda yang mendesak pelanggan untuk memboikot produk tersebut.
Banyak kafe dan restoran di kawasan tersebut yang sebagian besar telah menghindari merek-merek ini dan lebih memilih alternatif lokal seperti Matrix Cola dari Yordania dan Kinza dari Arab Saudi, agar mereka tidak menghadapi boikot sendiri. (Hidcom)