Busyro Muqoddas Cerita Tarik Ulur Muhammadiyah Menerima Jatah Tambang

PP Muhammadiyah menggelar rapat konsolidasi pimpinan Muhammadiyah di Convention Hall Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, 27-28 Juli 2024.

Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Hikmah PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas bercerita, sikap pimpinan wilayah Muhammadiyah terbelah dalam rapat konsolidasi nasional tersebut. 

Sebelas dari 35 pimpinan wilayah yang hadir menyatakan keberatan atas rencana PP Muhammadiyah menerima tawaran tambang dari pemerintah. 

Beberapa pimpinan wilayah juga mengingatkan organisasi agar berhati-hati dalam mengambil sikap. 

"Mereka mengingatkan Pimpinan Pusat, itu biasa di Muhammadiyah," tutur Busyro pada Senin, 29 Juli 2024.

Pimpinan wilayah yang berkeberatan, Busyro menjelaskan, menyampaikan alasan yang antara lain menyangkut kondisi pertambangan di daerah mereka. Ada yang menceritakan dampak pertambangan seperti timbulnya lubang bekas penggalian di jalan utama serta udara menjadi kotor. "Suasananya sangat kritis," ucapnya. 

Toh, pendapat-pendapat tersebut tidak dibahas dalam forum konsolidasi. Sikap pengurus pusat organisasi berlogo matahari dengan 12 sinar itu pada akhirnya sama dengan NU, yang lebih dulu memutuskan menerima jatah tambang dari pemerintah.

Karena itu, Busyro menegaskan penolakan dirinya dengan tidak hadir saat PP Muhammadiyah menggelar konferensi pers mengenai hasil konsolidasi nasional. 

Pengurus yang mengumumkan keputusan itu antara lain Ketua Umum Haedar Nashir, Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, dan Ketua Tim Pengelola Tambang Muhadjir Effendy.

Busyro memilih mengikuti rapat di kantor PP Muhammadiyah yang membahas rencana advokasi warga yang terkena dampak penambangan di Halmahera, Maluku Utara. Ia pun berencana mendatangi bekas lubang tambang di Halmahera yang merenggut banyak nyawa. 

Bukan hanya Busyro, sejumlah pengurus menyatakan kekecewaan dalam grup-grup WhatsApp. Bahkan ada informasi yang menyebutkan sejumlah kader di berbagai daerah akan mengundurkan diri. 

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan substansi argumen-argumen kontra tersebut akan menjadi panduan bagi organisasi dalam mengelola tambang ke depan. “Agar tidak seperti orang lain dalam mengelola tambang,” ujarnya.

MUHAMMADIYAH sejatinya telah menentukan sikap atas tawaran konsesi tambang dari pemerintah pada 13 Juli 2024, tepatnya dalam rapat pleno di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta. Kendati masih ada suara kontra, keputusan pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah sudah bulat. Hasil rapat pleno tersebut kemudian disampaikan dalam rapat konsolidasi di Yogyakarta.

Pro-kontra jatah tambang untuk ormas keagamaan telah lama menjadi pembahasan panas di antara kader Muhammadiyah. 

Ketua Bidang Hukum Busyro Muqoddas mengatakan organisasinya juga sudah lama mengkaji dampak pertambangan dengan berbagai pendekatan. Selama ini, kata dia, Muhammadiyah menangani sederet kasus pelanggaran hak asasi yang disebabkan oleh aktivitas tambang, seperti di Kendeng dan Wadas di Jawa Tengah serta di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Karena itu, ketika pemerintah berencana membagikan izin tambang batu bara kepada ormas agama, Muhammadiyah membuat kajian. 

Hasilnya, Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Muhammadiyah menerbitkan pendapat hukum pada 11 Mei 2024. Salah satu isinya menyatakan pemberian izin pertambangan secara langsung tanpa lelang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal itu juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi

Pendapat hukum itu terbit tiga pekan sebelum pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menjadi dasar hukum pemberian konsesi tambang bagi ormas keagamaan. 

(Sumber: Majalah TEMPO, Minggu, 4 Agustus 2024)

Baca juga :