Benarkah DI/TII Pemberontak NKRI?

Oleh: Ngopidiyyah

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak rela kehilangan kekuasaannya di Indonesia. 

Pada periode 1945-1949, Belanda menggunakan kekuatan militer dan diplomasi internasional untuk berusaha merebut kembali bekas koloninya. 

Mereka berhasil merebut Jakarta, menguasai kantor-kantor pemerintahan, dan bergerak ke arah timur untuk mengambil alih daerah-daerah yang masih dikuasai oleh tentara Republik Indonesia. 

Dari perspektif Indonesia, peristiwa ini disebut sebagai "Agresi Militer" karena militer asing menyerang negara yang sudah berdaulat. 

Namun, menurut Belanda, ini hanyalah "aksi polisionil" (seperti tindakan polisi terhadap para kriminal) untuk mengamankan wilayah yang mereka klaim sebagai milik mereka.

Kemunculan gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) tidak bisa dibayangkan sebagai pemberontakan oleh "sekelompok penyamun" yang ingin mendirikan negara baru. 

Ada masalah kompleks yang melatarbelakangi gerakan ini. 

Semuanya berawal dari perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda akibat dari Agresi Militer. 

Pada 7 Agustus 1949, di Konferensi Meja Bundar, Indonesia yang diwakili oleh Hatta terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Irian Barat tidak menjadi bagian dari Indonesia dan lapangan ekonomi Indonesia tetap dikuasai oleh kalangan kapitalis.

Pada Perjanjian Linggarjati tahun 1947, secara de facto wilayah kekuasaan Indonesia hanya mencakup Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura, dengan wilayah Jawa yang hanya terdiri dari Yogyakarta dan sekitar tujuh kabupaten. 

Dalam Perjanjian Renville, wilayah Indonesia semakin menyusut, hanya terdiri dari Yogyakarta, sementara seluruh kepulauan Indonesia, termasuk Jawa Barat, berada di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda.

Karena perjanjian Renville menyatakan bahwa Jawa Barat bukan lagi bagian dari Republik Indonesia, pemerintah harus mengosongkan semua wilayah yang dikuasai TNI, termasuk Jawa Barat. Divisi Siliwangi, yang dimiliki oleh pemerintah, juga ikut pindah ke Jawa Tengah. 

Namun, tidak semua pejuang setuju dengan ini. Kelompok Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin oleh Kartosuwiryo menolak mematuhi Perjanjian Renville dan terus melakukan perlawanan bersenjata.  

Belanda melancarkan Agresi Militer II (19 Des 1948 – 5 Jan 1949) yang menargetkan tokoh-tokoh penting Republik Indonesia. 

Dalam serangan tersebut, Presiden Soekarno, bersama dengan beberapa pemimpin lainnya seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, ditangkap oleh Belanda di Yogyakarta. 

Kartoswirjo atas "Ijtihad pribadinya" memproklamirkan Jawa Barat sebagai "Negara Islam" ditengah kondisi Indonesia yang darurat dengan kekosongan kepemimpinan wilayah Jawa Barat dan tertangkapnya Presiden Indonesia. 

Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan bahwa Negara Islam versi Kartosuwiryo didirikan di wilayah Indonesia yang berdaulat. Faktanya, wilayah tersebut adalah wilayah yang dikuasai oleh Belanda, dan justru Kartosuwiryo tidak rela menyerahkan tanah airnya kepada Belanda, seruan Kartoswirjo dengan berdirinya negara Islam disambut baik dengan bergabungnya Aceh dan Sulawesi sebagai bagian Negara Islam. 

Kartoswirjo sebagai pemimpin yang mengamakan di Jawa Barat sah dan legal diangkat oleh Republik Indonesia untuk mengamankan teritorial wilayah selatan. 

Sedangkan Lukas Kustario dimandatkan dan dikirim oleh pemerintah untuk menjaga daerah Utara, Sedangkan Lombok dan Bali di amankan oleh Gusti Ngurah Rai akibat perjanjian Renvile dan Linggarjati ini wilayah indonesia menyusut drastis. Dan Perjanjian Renville serta Linggarjati ini ditolak dan dikecam oleh PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan organisasi besar Islam lainnya. 

Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya? Tunggu ya, ini post ngopidiyyah bermasalah. Bantu up aja.

(fb Ngopidiyyah)

Baca juga :