Pilihan Megawati Soekarnoputri menolak mencalonkan Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama di Pilgub Jakarta dilatari 'hitung-hitungan politik' dengan Prabowo Subianto dan Joko Widodo, kata pengamat.
Pramono Anung dipilih sebagai 'jalan tengah' demi kepentingan politik jangka panjang partai berlogo kepala banteng itu.
Sehingga, bukan kemenangan yang dicari PDIP di Pilkada Jakarta, tapi investasi politik jangka panjang.
Agar bisa tetap berkomunikasi dengan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih, tambah pengamat.
‘Tidak logis’
Beberapa pengamat politik menilai PDIP sudah “siap kalah” di Pilkada Jakarta dengan mencalonkan Pramono Anung dan Rano Karno sebagai jagoan.
Pesaing utama mereka adalah Ridwan Kamil-Suswono atau pasangan RIDO yang didukung koalisi gemuk gabungan 15 parpol yaitu PKS, Golkar, PKB, PAN, NasDem, Demokrat, PPP, PSI, Gelora, Perindo, Partai Garuda, PKN, Prima, dan PBB.
Analis komunikasi politik dari Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menilai, kans kemenangan RIDO lebih besar dibandingkan pasangan Pramono-Rano.
Salah satunya karena pasangan RIDO ikut didukung PKS yang menjadi parpol nomor satu dalam perolehan suara termasuk kursi parlemen di Jakarta pada pemilu legislatif 2024. PKS memperoleh 1 juta suara, dan 18 kursi di parlemen.
“Karena kekuatannya RK (Ridwan Kamil) sebetulnya ada di Suswono-nya, ada di PKSnya,” kata Hendri.
Di sisi lain, PDIP akan tetap setia pada “DNA-nya”: mengutamakan kadernya maju sebagai bakal cagub Jakarta. Urusan menang-kalah, belakangan, kata Hendri.
“Mereka memang biasanya siap kalah. Jadi yang penting kader saja yang maju,” katanya.
Di sisi lain, kata Hendri, ada juga kemungkinan hitung-hitungan politik Megawati Soekarnoputri untuk “menurunkan tensi” di tengah ketegangan internal partai dalam menentukan pilihan bakal cagub Jakarta antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Kedua orang ini adalah rival Pilkada Jakarta 2017 silam. Oleh karena itu, memunculkan nama Pramono adalah jalan tengah.
Tapi motif lainnya, “Mungkin juga ada deal-deal-an (kesepakatan tertentu) sama pemerintah,” tambah Hendri.
Memasang Pramono-Rano untuk memenangkan Pilkada Jakarta adalah “tidak logis”, kata Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago.
Lawan sepadan pasangan RIDO adalah Anies dan Ahok.
“Secara logika elektoral nggak masuk akal,” kata Arifki yang melihat koalisi besar di belakang RIDO termasuk elektabilitasnya.
Dilansir dari survei Litbang Kompas pertengahan Juni lalu, Anies Baswedan berada di urutan pertama dalam elektabilitas rujukan gubernur Jakarta.
Anies dipilih 29.08% responden, diikuti politikus PDIP sekaligus mantan gubernur Jakarta Ahok 20% responden. Adapun mantan gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di urutan ketiga dengan 8.5%.
“Kalau memang Pramono-Rano ini adalah memang kuda hitam untuk bisa menandingi RK-Suswono, ini nggak logis. Makanya banyak penilaian, termasuk saya, melihat bahwa untuk mengalahkan RK itu adalah dengan Anies atau dengan Ahok,” kata Arifki.
Usung Pramono-Rano, PDIP ‘berhitung politik jangka panjang’
Arifki menganalisis bahwa langkah PDIP mengusung Pramono-Rano sebagai “negosisasi jangka panjang”. Sejauh ini, PDIP ditinggalkan sendirian oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 lalu.
Belakangan KIM diperkuat dengan bergabungnya PKB, NasDem dan PKS.
“Tentu banyak variabel yang menyebabkan bahwa PDIP akan berhitung lebih baik ke depan. Karena kan permasalahan PDIP selama ini kan dengan Jokowi, bukan dengan Prabowo… Bahwa mencoret Anis, maka ada negosiasi jangka panjang. Apakah masuk kabinet atau lainnya,” kata Arifki.
Kenapa tidak Ahok?
Selain itu, PDIP tidak memasang Ahok sebagai cagub Jakarta lantaran “bisa memperburuk" hubungan PDIP dengan Jokowi dan Prabowo-Gibran.
“Artinya ada upaya membentuk matahari Jakarta… (memasang) Ahok adalah simbol perlawanan kepada pemerintah pusat,” kata Arifki.
“Makanya saya rasa ini pencalonan PDIP di Jakarta mengusung Pramono Rano ini sebuah formalitas dan menghargai kader, dan juga agar PDIP tidak terpecah untuk melihat komunikasi politik jangka panjang berkomunikasi dengan Prabowo-Gibran.”
Bagaimana dengan Anies?
Anies terlalu berisiko bagi PDIP. Musababnya, mantan gubernur DKI Jakarta ini bukanlah kader, dan belum tentu mau jadi bagian dari PDIP. Selain itu, Anies juga punya catatan “clash negatif” dengan Prabowo.
Memilih Anies, kata Arifki, juga akan mengganggu konstelasi politik di tahun 2029. Jika berlayar di Pilkada Jakarta dan menang, maka Anies akan menjadi lawan kuat dari Prabowo, Gibran, Puan Maharani, termasuk Ganjar Pranowo dan Ahok pada Pilpres 2029.
“Makanya mematikan kartu Anies lebih awal itu menguntungkan semua pihak. Apakah pihak di internal PDIP atau pihak di partai lain,” kata Arifki.
(Sumber: BBCIndonesia)