Yang logis aja cak!

Nambang aj ente belum pernah. Losk ente mau beri suri tauladan CARA NAMBANG YANG BAIK? Yang logis aja Cak!

Ketua Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Wahyu Perdana, juga kecewa dengan sikap yang diambil organisasinya.

Ini karena sejak gonjang-ganjing adanya jajaran pimpinan PP Muhammadiyah yang menginginkan agar lembaga tersebut mengikuti langkah Nahdlatul Ulama (NU), pihaknya sudah mengajukan keberatan dengan membuat laporan berjudul Kertas Kebijakan LHKP PP Muhammadiyah.

Di situ ia menjabarkan bagaimana penerimaan izin usaha pertambangan bisa menimbulkan dampak hukum yang berat bagi organisasi dan para pimpinannya.

Selain itu, sambungnya, risiko lingkungan menjadi salah satu kekhawatiran utama mengingat industri ekstraktif pertambangan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana lingkungan. Termasuk potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia.

Berpijak pada kajian itulah ia berharap Muhammadiyah berani menolak tawaran konsesi tambang.

"Jadi buat saya ini akan menjadi ujian integritas. Karena kalau mau berbisnis apa pun konteksnya yang dikelola organisasi, enggak harus menunggu menggunakan pemberian politik pemerintah. Ikuti saja prosedur yang sudah ada (melalui tender, lelang, dsb)," ujar Wahyu Perdana kepada BBC News Indonesia, Minggu (28/07).

"Dengan taksiran aset yang dimiliki, bisa saja membuat perusahaan sendiri untuk masuk [dalam bisnis] tambang."

"Karena dalam praktiknya pengurus daerah, beberapa juga mengelola sawit tapi bukan dalam pemberian politik, namun dengan memenuhi syarat formil dan materil semisal ajukan amdal," lanjutnya.

Itu mengapa Wahyu menilai keputusan yang diambil sekarang berpotensi sebagai "risywah/suap politik". Sebab dalam lima tahun ke depan hampir dipastikan tidak ada suara kritis lembaganya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Ia mencontohkan bagaimana sikap Muhammadiyah yang belakangan kencang mengkritisi operasional tambang di daerah-daerah.

Mulai dari tambang andesit di Desa Wadas, Jawa Tengah, yang disebut adanya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

Kemudian Muhammadiyah juga mendesak agar Proyek Strategis Nasional (PSN) di Rembang dicabut, dan sempat bersuara keras membatalkan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

"Karena di Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2024, penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus untuk ormas kemasyarakatan keagamaan berlaku cuma lima tahun," tutur Wahyu.

"Artinya selama lima tahun ke depan saya menduga suara kritis akan hilang karena dianggap [pemerintah] sudah menundukkan [Muhammadiyah]."

Dan yang bikin dia tambah kecewa, dalih bahwa Muhammadiyah bakal mengelola tambang sehingga jauh dari konflik sosial dan berpihak pada lingkungan "hampir tidak mungkin terjadi".

Sepanjang pengalamannya berada di organisasi lingkungan, katanya, wacana "green mining" merupakan "utopis" semata.

"Bahkan sependek pengetahuan saya, lahan bekas tambang yang sudah direklamasi pun tidak bisa mengembalikan daya resapan air jadi 100%, paling hanya 20%."

***

Juru kampanye LSM Jaringan advokasi tambang (JATAM), Alfarhat Kasman, sependapat.

Dia bilang narasi PP Muhammadiyah yang ingin mengembangkan model pertambangan ramah lingkungan dan menyerahterakan warga sekitar adalah "omong kosong dan tidak bisa dipercaya".

Sebab, klaimnya, tidak ada pertambangan di Indonesia yang tak merusak lingkungan, melenyapkan sumber air, dan sumber pangan warga.

"Dan tidak ada tambang yang menyejahterakan warga di sekitarnya. Itu yang kami lihat faktanya di lapangan. Selalu bertolak belakang dengan apa yang dinarasikan oleh pemerintah dan perusahaan," jelas Alfarhat kepada BBC News Indonesia.

Salah satu contoh nyata dampak buruk operasional tambang, kata Koordinator Jatam Melky Nahar, adalah ribuan lubang bekas galian tambang yang dibiarkan menganga oleh perusahaan.

Catatan JATAM pada tahun 2020 menyebut ada 3.092 lubang tambang yang tidak direklamasi di Indonesia dan telah menelan banyak korban jiwa.

Di Kalimantan Timur setidaknya 40 orang meninggal akibat keberadaan lubang tambang, ungkap Melky.

Tapi lebih dari itu, Alfarhat khawatir keputusan Muhammadiyah menerima konsesi tambang dari pemerintah bakal meredam gerakan masyarakat yang selama ini kencang melawan daya rusak tambang.

Seperti yang sedang dilakukan warga Muhammadiyah di Trenggalek, Jawa Timur, dalam menuntut pembatalan izin tambang emas yang disebut terbesar di Jawa.

"Jangan sampai mereka menarasikan [tambang emas] adalah untuk kesejahteraan rakyat."

Selain meredam gerakan masyarakat, Melky Nahar juga memperkirakan situasi ini akan memicu eskalasi konflik yang semakin kompleks yaitu antara warga versus perusahaan, elit politik, dan elit ormas.

Sumber: BBC

Baca juga :