TEMPO: Kami yang Viralkan Kematian Afif Maulana
INI pesan Tempo kepada Kepolisian Daerah Sumatera Barat: Kami yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian, Bapak-bapak polisi tidak perlu bersusah-susah mencari siapa orang pertama yang menyebarkan informasi seputar penyebab terbunuhnya bocah 13 tahun itu.
Jenazah Afif ditemukan mengambang di sungai di bawah Jembatan Kuranji, Jalan Bypass, Padang, pada Ahad siang, 9 Juni 2024. Polisi menyebutkan anak itu meninggal akibat tawuran tanpa memberikan hasil autopsi kepada keluarga korban. Namun saksi memberi keterangan berbeda. Teman yang memboncengkannya pada Ahad dinihari itu mengatakan mereka berpapasan dengan patroli polisi yang mencegah tawuran di lokasi tersebut. Polisi menendang sepeda motor mereka dan Afif terpental. Afif sempat berdiri sebelum dikerubungi polisi yang menggenggam batang rotan. Itulah terakhir kalinya saksi melihat pelajar sekolah menengah pertama tersebut.
Saksi itu, beserta belasan orang lain, ditangkap, diinterogasi, dan disiksa. Dia disetrum dan wajahnya terkena tendangan dua kali. Di kantor Polda Sumatera Barat, mereka disuruh berjalan jongkok dan berguling-guling hingga muntah. Dugaan penyiksaan lain berupa sundutan rokok, pukulan tongkat rotan, dan cambukan. Polda Sumatera Barat mengakui adanya penyiksaan tersebut dan 17 anggotanya akan disidang etik.
Namun nama Afif tidak ada dalam daftar korban kekerasan polisi itu. Petugas menyebutkan Afif diduga melompat dari jembatan supaya tidak tertangkap.
Masalahnya, luka pada jenazah Afif lebih menunjukkan dugaan bekas benturan benda tumpul ketimbang jatuh dari ketinggian—Jembatan Kuranji menjulang 14 meter di atas Sungai Batang Kuranji yang berbatu. Dari luka lebam di sekujur badan sampai jejak sepatu terdapat di perut korban.
Hidup di negara hukum, tentu saja, masyarakat berhak menuntut polisi menjelaskan kejanggalan-kejanggalan itu. Upaya ini ditempuh oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dengan menggelar konferensi pers pada Kamis, 20 Juni lalu—sepuluh hari setelah anak malang itu dikebumikan. Para praktisi hukum itu menduga korban meninggal akibat penyiksaan polisi. Tempo bersama sejumlah media lokal dan nasional menyebarkannya ke publik.
Sebelumnya, muncul akun baru di TikTok yang mengatasnamakan Afif Maulana. Akun tersebut memuat video-video kesaksian subuh jahanam di Jembatan Kuranji tersebut.
Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono kini memburu orang yang pertama kali mengabarkan kejanggalan kematian Afif. Dia merasa citra kepolisian dirusak oleh penyebar kabar tersebut.
Ini jelas rencana yang keblinger. Polisi seharusnya sadar inilah mekanisme mencari keadilan di Indonesia: harus dipopulerkan dulu lewat media massa atau media sosial. Fenomena "no viral, no justice" ini sudah lama dibahas Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Jadi seharusnya polisi memanfaatkan informasi-informasi yang berseliweran tersebut untuk mengungkap kebenaran. Tentu saja, polisi punya segudang keahlian untuk memilah mana fakta dan mana rekayasa. Jika yang terjadi sebaliknya, mencari penyebar kabar, wajar publik mencurigai polisi malah ingin mengubur kebenaran.
Maka, ketimbang para kesatria bhayangkara repot-repot melacak penyebar video di media sosial dengan alasan trial by the press—peradilan sepihak oleh media massa, sekali lagi, Tempo membuka diri. Kamilah yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian, Pak Polisi dapat menyalurkan energi pemburuan yang tak terpakai untuk menjalankan tugas utama Polri: menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
(Sumber: TEMPO)
Terus menyala abangkuh 🔥 pic.twitter.com/tI0JQnv7V1
— Senja Ibukota (@rendrasejati) July 2, 2024
Pasang badan untuk rakyat
— Mrs Safa (@Safa_Andriana) July 2, 2024
Tempo☑️
Polisi❎