Pertarungan Islam vs Bhairawa Tantra

Pertarungan Islam vs Bhairawa Tantra

Oleh: Ni’mat Al Azizi

Makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah yang terletak di dusun Leran desa Pesucian kecamatan Manyar kabupaten Gresik, diakui sebagai peninggalan arkeologi Islam yang tertua di Pulau Jawa. 

Makam dengan batu nisannya terdapat sebuah tulisan berbahasa Arab yang dituliskan dengan huruf Arab bergaya Kufi. Tulisan ini menyebutkan meninggalnya seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatullah dan menyebutkan angka tahun wafatnya, yaitu 475 H atau 1082 M.

Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo menyatakan bahwa Leran pernah ditinggali komunitas pedagang yang memiliki jaringan dengan Cina, India dan Timur Tengah. Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran di masa lampau merupakan pemukiman perkotaan dan perdagangan. Di antara pemimpin yang ada pada waktu itu adalah Fatimah binti Maimun. Kata asy-Syâhidah yang tertulis dalam inskripsi bisa dimaknai ‘wanita korban syahid’ seperti ditafsirkan H.M. Yamin, namun bisa juga dimaknai ‘pemimpin wanita’. 

Kemudian, siapa sebenarnya Fatimah binti Maimun ini? Lebih lanjut, Agus Sunyoto menyatakan bahwa perempuan ini ada hubungannya dengan para imigran Suku Lor asal Persia yang pada abad ke-10 Masehi bermigrasi ke Jawa dengan mendirikan pemukiman bernama Loram atau Leran. Dan Fatimah binti Maimun bukanlah seorang wanita asing melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Leran sejak abad ke-10 Masehi.

Agus Sunyoto juga menyebut bahwa Fatimah binti Maimun ada kaitannya dengan legenda Sultan Al Gabah yang mengirim 20.000 keluarga muslim ke pulau Jawa. Kemudian imigran ini bertemu dengan penganut ajaran Bhairawa Tantra dan habis dimangsa. 

Tentang ajaran Bhairawa Tantra sendiri, secara simbolik telah diungkapkan dalam historiografi Jawa yang termaktub dalam Kitab Musarar. Dimana Sultan Al-Gabah dari negeri Rum telah mengirim 20.000 keluarga muslim untuk tinggal di Jawa, tetapi hampir seluruhnya tewas dimangsa siluman, brekasakan, ilu-ilu, banaspati (sebutan simbolik untuk pengikut Bhairawa Tantra dalam upacara Pancamakara). 
SQ Fatimi, dalam "Islam Come to Malay" mencatat bahwa pada abad ke-10 M, terjadi migrasi keluarga-keluarga (marga) Persia ke Nusantara. Keluarga ini berasal dari Lor/Lorestan Persia (Iran). 

Orang-orang Lor inilah yang terkait dengan peristiwa Pralaya, penyerbuan ibukota kerajaan Dharmawangsa di Wwatan oleh Aji Wurawari dari Leran. 

Peristiwa ini tercatat dalam prasasti Pucangan (1041), yang bermuara pada hancurnya Aji Wurawari di Leran oleh serangan balasan Airlangga sebagaimana disebutkan dalam prasasti Cane (1021 M). 

Namun sisa-sisa kekuatan Aji Wurawari masih melakukan serangan terhadap Airlangga di ibukota Wwatan Mas, yang membuat Airlangga lari ke Desa Patakan sebagaimana prasasti Terep (1032 M). 

Perselisihan orang-orang Lor yang tinggal di Leran, dengan Airlangga dan keturunannya, yaitu raja-raja Janggala dan Panjalu, berkelanjutan hingga berhubungan dengan situs makam Syahidah Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik.

Perselisihan orang-orang Lor dengan Airlangga itu tidak dapat ditafsirkan lain kecuali dalam kaitan dengan fakta dianutnya ajaran Bhairawa Tantra oleh keluarga Raja Dharmawangsa dan Airlangga. Dimana ibunda Airlangga sendiri, Mahendradatta, dikenal sebagai seorang bhairawi. Dalam prasasti pucangan dan dikuatkan oleh Serat Calon Arang, di masa Airlangga keberadaan aliran Bhairawa Tantra atau tantrayana pangiwa sudah tumbuh subur.

Raja Jawa yang juga menganut aliran Bhairawa Tantra adalah Kertanegara, Raja Singhasari

Negarakertagama menyebut Kertanagara menjalankan ritual Ganacakra, yang menjadi landasan dari ritual Pancamakara Puja. Dan sebagaimana tercatat dalam Serat Pararaton, saat diserang Jayakatwang, Kertanegara sedang melakukan upacara Pancamakara bersama patih dan menteri-menterinya dalam keadaan mabuk. 

Penyerangan Jayakatwang terhadap Kertanegara, ternyata ada andil Arya Wiraraja, yaitu keponakannya sendiri. Arya Wiraraja sengaja disingkirkan oleh Kertanegara dengan mengirimnya sebagai adipati Madura. Ini didasari ketidaksetujuan Arya Wiraraja terhadap rencana Kertanegara untuk mengirim ekspedisi Pamalayu ke Sumatera. Arya Wiraraja yang adalah seorang Muslim tentu saja tahu, bahwa Kertanegara tidak hanya ingin meluaskan wilayahnya, namun juga ingin menyebarkan ajaran amoral Bhairawa Tantra.

Arya Wiraraja selaku seorang muslim memiliki kewajiban moral untuk mencegah perkembangan ajaran Bhairawa Tantra. Oleh karenanya, saat melihat kesempatan dengan lemahnya kekuatan militer Singhasari, ia meminta kepada Jayakatwang, Raja Gelang-gelang, suami dari bibinya, untuk merebut tahta Singhasari. Yang saat itu, tidak cukup memiliki pasukan yang kuat di Kutaraja karena pasukan utama sudah dikirim ke Pamalayu.   

Apa yang dikhawatirkan oleh Arya Wiraraja ternyata terbukti benar. Adalah Adityawarman, seorang bangsawan Majapahit yang berkuasa di Darmashraya, ikut andil dalam mengenalkan sekte Bhairawa Tantra di Sumatera. 

Menurut George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (2017), Adityawarman masih berkerabat dengan dinasti Singasari dan Majapahit. Masa mudanya yang dihabiskan di istana Majapahit, tidak tertutup kemungkinan, disanalah ia berkenalan dengan aliran Bhairawa Tantra.

Ketika penobatan Adityawarman sebagai raja, dilaksanakan di tengah-tengah lapangan mayat sambil duduk diatas timbunan mayat yang berbau busuk. Sang raja tertawa sambil minum darah, anehnya, konon bagi Adityawarman, mayat tersebut harum semerbak baunya.  

Ritual ini tergambar sangat jelas dari patung Bhairawa yang ada di Museum Nasional yang terlihat Tengah memegang cawan darah. Arca ini berdiri di atas tumpukan tengkorak dan dianggap sebagai manifestasi aktivitas keagamaan aliran Bhairawa Tantra.
Begitulah, pertarungan Islam dengan penganut Bhairawa Tantra di Nusantara sudah berlangsung berabad-abad lamanya. 

Aliran ini yang dulunya banyak dianut oleh raja-raja Jawa sebelum zaman Islam, tentu menjadi semacam teror bagi penduduk Jawa. 

Bukti kengerian dan kekejaman ajaran ini masih bisa dijumpai pada serat, relief candi, prasasti dan arca yang banyak tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. 

Wallohua’lam bis Showab…

Baca juga :