Angin Segar SMA Tanpa Jurusan
PENGHAPUSAN sistem penjurusan di sekolah menengah atas, yang diterapkan penuh pada tahun ini, bisa menjadi angin segar bagi perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Bila dijalankan dengan sungguh-sungguh, kebijakan ini bakal menjawab sejumlah persoalan klasik dunia pendidikan, seperti ketidaksesuaian jurusan dengan pilihan studi dan karier siswa.
Kebijakan menghapus sistem penjurusan di SMA ini merupakan implementasi Kurikulum Merdeka, yang diperkenalkan dan diterapkan sejak tahun ajaran 2021/2022. Dua tahun kemudian, Menteri Pendidikan menerbitkan Peraturan Nomor 12 Tahun 2024 yang mengatur kurikulum pendidikan anak mulai usia dini, jenjang pendidikan dasar, hingga pendidikan menengah.
Sesuai dengan namanya, salah satu aspek penting kurikulum ini adalah memerdekakan murid dalam proses belajar. Murid bebas memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasinya. Aspek kemerdekaan belajar ini pula yang bakal menentukan keberhasilan kurikulum tersebut, terutama dalam hal penghapusan sistem penjurusan di SMA.
Salah satu hal positif dari kebijakan progresif ini adalah terkikisnya stigma bagi murid dari jurusan non-ilmu pengetahuan alam (IPA). Kita tahu sejak dulu ada stigma anak IPA lebih istimewa. Sebab, dalam ujian masuk perguruan tinggi, mereka lebih leluasa memilih program studi, termasuk dari rumpun ilmu sosial. Hal sebaliknya tak berlaku bagi mereka yang berasal dari jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS) ataupun bahasa.
Meski demikian, membebaskan murid menentukan minat pelajaran tanpa batasan tetap menimbulkan risiko. Tanpa pilihan jurusan yang rigid seperti selama ini, IPA, IPS, atau bahasa, para murid bisa saja sembarangan memilih paket pelajaran atau sekadar ikut-ikutan temannya. Murid juga akan cenderung mengambil paket pelajaran yang dianggap lebih mudah.
Itu semua bisa terjadi jika murid tak mendapat kemerdekaan sepenuhnya dalam menentukan pilihan mereka sendiri. Karena itu, penghapusan jurusan di SMA mesti diikuti oleh peningkatan peran guru konseling di sekolah. Guru konseling harus mengubah perannya, bukan hanya sebagai penghukum bagi murid-murid badung, tapi juga memberi pendampingan agar murid bisa menemukan minat dan bakat sebelum menentukan pilihan pelajaran.
Kondisi sebaliknya akan terjadi bila murid memiliki cukup informasi dan pengetahuan sebelum membuat keputusan. Kebebasan memilih paket pelajaran ini bukan tak mungkin memunculkan banyak ilmuwan dan pemikir cemerlang di kemudian hari.
Kebijakan penghapusan jurusan di SMA juga bisa menekan tingkat ketidakcocokan antara bidang studi atau keterampilan yang ditekuni dan pekerjaan yang dijalankannya alias horizontal mismatch. Di Indonesia, tingkat ketidakcocokan itu masih cukup tinggi. Studi Agil Priyovi Yonanda dan Hardius Usman yang dipublikasikan di Jurnal Ketenagakerjaan pada 2023 menyebutkan, per Februari 2022, pekerja lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang mengalami horizontal mismatch sebanyak 33,50 persen.
Hal lain yang perlu disiapkan adalah menyediakan tenaga pengajar. Sebab, setiap tahun jumlah murid yang meminati paket pelajaran tertentu akan terus berubah. Sekolah bakal kesulitan memprediksi secara pasti kebutuhan tenaga pengajar. Persoalan ini dapat diatasi jika sekolah bersikap aktif mengenali potensi dan bakat para muridnya. Sekolah bisa memetakan minat murid melalui sejumlah asesmen yang dilakukan pada masa awal pendaftaran.
Namun keberhasilan penghapusan sistem penjurusan di SMA tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada guru dan sekolah. Pemerintah juga tak bisa lepas tangan hanya membuat aturan dan membiarkan tenaga pendidik jungkir balik menerapkan kurikulum ini. Satu hal yang harus dilakukan adalah memperkuat serta memperbanyak sumber informasi dan pengetahuan di sekolah-sekolah.
Bukan rahasia lagi bahwa sampai sekarang masih banyak sekolah negeri yang tertinggal dalam hal fasilitas, seperti perpustakaan dan laboratorium. Upaya memperkuat sumber pengetahuan juga bisa dilakukan dengan penyediaan akses bacaan digital yang ditunjang jaringan Internet memadai. Berbagai fasilitas ini akan membantu murid menemukan minat dan bakat mereka.
Maka sudah sepantasnya pemerintah juga mengatur ulang alokasi dana pendidikan. Anggaran pendidikan untuk jenjang usia dini, dasar, sampai menengah seyogianya diperbesar untuk memenuhi berbagai kebutuhan penting itu. Duitnya bisa diambil dari alokasi anggaran untuk sekolah kedinasan yang berlebihan.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, Rabu, 24 Juli 2024)