๐๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ค ๐๐๐ฅ๐๐ซ ๐
๐ข๐ค๐ข๐ก ๐๐๐ซ๐ญ๐๐ฆ๐๐๐ง๐ ๐๐ง ๐๐ฎ๐ฌ ๐๐ฅ๐ข๐ฅ
Oleh: Abdul Wahid Sumenep*
Dalam dua tulisannya (di fb), Gus Ulil memajukan pandangan bahwa masalah tambang adalah masalah fikih dan khilafiyah yang tidak wajar ada pelabelan jahat oleh satu pihak terhadap pihak lain yang berbeda. Dalam poin ini saya satu posisi dengan beliau. Perisakan kepada NU lantaran ๐๐๐๐๐๐ menyambut konsesi izin tambang untuk ormas tidak sedikit yang melampaui batas dan menyalakan ๐โ๐๐๐โ saya sebagai santri NU. Saya juga berbela sungkawa kepada Gus Ulil yang konon dituduh menggadaikan kalung ilmiahnya untuk mendapatkan kredit recehan. Tetapi, ghirah dan simpati ini sama sekali tidak menghambat saya untuk tetap “kritis” terhadap Gus Ulil dan bahkan kepada pilihan “sementara PBNU”.
Gus Ulil, dalam tulisan kedua, mencoba memberikan penjelasan lanjutan dengan mengutip sekian istilah teknis dan dua kaidah fikih. Poin-poin dalam tulisan belakangan ini yang akan saya berikan ulasan dan catatan. Insyaallah, jika tidak malas, ini adalah episode pertama.
Susah untuk melenyapkan dugaan kalau dengan dua tulisannya Gus Ulil sedang berupaya memberikan justifikasi moral bagi “pilihan PBNU” (tanda petik saya pasang karena Gus Ulil sendiri mengakui tidak ada ijma’ di kalangan ulama NU). Dan, saya mendapati kesan beliau bersusah payah, kalau bukan memaksa, dalam upayanya tersebut. Tentu, ini kesan pribadi yang boleh jadi muncul lantaran saya bukan pembaca wacana yang baik. Tetapi, saya akan menunjukkan mengapa kesan ini muncul.
Yang pertama, dan bagi saya ini utama, Gus Ulil menghindar atau sembunyi dari pertanyaan krusial terkait konsistensi dan komitmen PBNU menyangkut pelestarian lingkungan. Seperti diberitakan oleh beberapa media, PBNU akan mendapatkan jatah pengelolaan tambang batu bara bekas PT. KPC. Sementara, ingatan publik masih segar akan hasil rekomendasi Muktamar Ke-34 NU. Disebutkan dalam poin 2 dan sub bahasan I (Pelestarian Lingkungan dan Iklim) sebagai berikut, “…Pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai tahun 2022 dan pengurangan produksi batubara mulai tahun 2022…”
Pertayaan ini tentu rumit dijawab. Mungkin memerlukan perangkat teknis fikih lainnya, misalnya pertentangan antara ๐๐๐ข๐ ๐๐๐๐๐ dan ๐๐๐ข๐ ๐๐๐๐๐?; atau ini termasuk pertentangan antara ๐ ๐ข๐๐๐โ ๐๐๐ข๐๐๐ฆ๐โ dan ๐ ๐ข๐๐๐โ ๐๐’๐๐๐ฆ๐ฆ๐โ? Atau ๐๐๐ ๐๐โ atau ๐ก๐๐โ๐ ๐๐ โ? atau ini bagian dari karakteristik fikih seperti ditulis Gus Ulil sendiri: dinamis, pragmatis, dan kontekstual? Atau apa lagi? Tapi, apapun perangkat yang digunakan, dalam pikiran saya tetap tidak mudah menyusun argumen yang meyakinkan. Yang mudah, memang, abaikan pertanyaan ini.
Saya mungkin memaksa Gus Ulil ke persoalan yang tidak ditulisnya. Sebut saja beliau hendak menanggapi mereka yang membully manuver PBNU terkait konsesi tambang, tapi tulisan bagus nan sarat istilah itu terlalu memuliakan mereka.
Kesilapan lain Gus Ulil adalah mengasumsikan mereka yang menolak PBNU ๐๐๐ค๐-๐๐๐ค๐ dalam pertambangan adalah “pasti” aktivis lingkungan yang ekstrem. Sahabat-sahabat santri yang lugu dan masih perawan dari penetrasi ideologi environmentalisme bukan sedikit yang menyatakan penolakan. Sebut saja, kawan santri yang menulis di mading di halaman pondok saya mengabdi memajukan dalil, satu dan la tsaniya lah, rekomendasi tadi. Tulisan itu menyebut, PBNU ๐๐๐๐๐๐-๐๐๐๐๐๐. Tidak ada secuil gelagat anak itu mengakidahkan isu lingkungan, bahkan dia sedang bersetia kepada fikih, fikih hasil Muktamar NU. Kalau pun mereka yang menolak adalah orang yang terpapar ideologi dimaksud, tetap terlalu mengada-ada menganggap mereka ekstrem. Sangat mungkin penolakan mereka juga berangkat dari kaidah mafsadat-maslahat seperti Gus Ulil coba rumuskan.
Meskipun dua tulisan Gus Ulil mengafirmasi bahwa mahall al-niza’ adalah masalah fikih yang terbuka dengan perbedaan, tetapi dengan terang Gus Ulil berusaha meyakinkan bahwa tambang itu boleh dan menyebut secara implisit PBNU sudah menemukan win-win solution dengan kelak menceburkan diri ke ceruk tambang bekas.
Saya menganggap Gus Ulil keliru dalam mengidentifikasi ๐๐โ๐๐๐ ๐๐-๐๐๐ง๐’: pokok bahasan yang sedang diperselisihkan. Tulisnya, “Apakah tambang, terutama batubara (karena inilah yang menjadi ๐๐โ๐๐๐ ๐๐-๐๐๐ง๐’, sumber kontroversi, saat ini), haram atau halal?” Kesalahan dalam identifikasi ini, fikih menyebutnya sebagai instisyar. Hukumnya terlarang. Logika menyebutnya ๐๐๐๐๐๐๐ก๐๐ ๐๐๐๐๐โ๐ atau ๐๐๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐ก. Hukumnya sesat (dalam pengertian logika).
Seharusnya, ๐๐โ๐๐๐ ๐๐-๐๐๐ง๐’-nya adalah pertanyaan: apakah PBNU boleh, pantas, layak, dan maslahat jika mengelola tambang batu bara bekas? Sebelum membaca tulisan Gus Ulil, saya dan mungkin teman-teman yang kontra, tidak berpikir untuk mendiskusikan apakah tambang (menambang SDA) itu halal atau haram. Itu karena kami, pelajar fikih, tahu betul itu halal bahkan dengan bermodal kaidah fikih satu dua saja. Tetapi, dengan mengajukan pertanyaan ini, Gus Ulil membuka jalan mulus untuk secara lamat-lamat menyimpulkan pilihan sikap PBNU adalah semacam ๐ค๐๐-๐ค๐๐ ๐ ๐๐๐ข๐ก๐๐๐. Akal kita menolak penyimpulan semacam ini.
Ketergelinciran logik lainnya adalah ilustrasi Gus Ulil tentang pertentangan dua mafsadat. Tulisnya, “Terminasi (penghentian) secara total penggunaan batubara sekarang juga jelas akan menimbulkan mafsadat besar, sebab ….berapa juta orang yang terdampak oleh kebijakan terminasi semacam ini? Berapa juta murid yang harus kehilangan kesempatan belajar karena mati listrik akibat terminasi penggunaan batubara, misalnya? Dan seterusnya, seterusnya.”
Jika ilustrasi ini dimaksudkan untuk menopang kesimpulan “kita bisa mencapai win-win solution”, maka secara tidak sengaja Gus Ulil tergelincir di ๐๐๐๐๐๐๐๐ฆ ๐๐๐๐๐. Ilustrasi ini terdengar hendak menyatakan bahwa ๐ก๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐๐๐ข๐ ๐๐๐ ๐ข๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ก ๐๐๐๐ฆ๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐ฆ๐โ ๐ก๐๐๐๐ ๐๐ข๐๐ขโ ๐๐๐๐ dengan agumen berikut: jika tidak mandi maka teman terganggu, jika teman terganggu maka belajar terganggu lalu tidak lulus UAS, jika tidak lulus maka orang tuanya harus menyiapkan bayaran sks lagi, stres, depresi, dan akhirnya bunuh diri.
Mereka yang kontra PBNU mengelola tambang batu bara tidak bermaksud melakukan upaya terminasi (penghentian) pertambangan batu bara hari ini juga, apalagi secara mendadak. Sikap kontra ini, setidaknya bagi saya, sama sekali bukan kontra kepada semua kegiatan pertambangan, misalnya eksplorasi SDA oleh suatu perusahaan tambang. Saya, misalnya, hanya mempertanyakan mengapa PBNU harus secara langsung terlibat.
Hemat saya, Gus Ulil dengan dua tulisannya sementara ini hanya hendak mengatakan pertambangan itu halal. Oleh karena itu, siapapun, termasuk PBNU, boleh ikut-ikutan menambang. Singkatnya, Gus Ulil menganggit syarah atau hasyiyah atas matan Gus Yahya, “Pertama-tama saya katakan, NU ini butuh, apapun yang halal, yang bisa menjadi sumber revenue untuk pembiayaan organisasi.”
Halal! Kita tahu halal adalah separuh dari kriteria yang sebaiknya manusia makan. Saparuh sisanya, ๐กโ๐๐ฆ๐ฆ๐๐. (QS. 2: 168).
(fb penulis)