Seorang tukang bertanya kepada saya, kok bisa pekerja pertenakan di Selandia Baru gajinya lebih dari 20 jt? Kerjanya hanya ngarit dan ngurusi ternak. Beberapa tetangganya di Kulonprogo (DI Yogyakarta) bekerja di sana.
Bengong juga saya dengan pertanyaannya.
Saya jawab: Mungkin karena efisiensi luar biasa. Selisih antara harga jual ternak/daging dengan biaya produksinya jauh. Hingga ada space untuk menggaji tinggi pekerjanya.
Mungkin simulasinya begini :
Harga daging `100rb per kg.
Biaya produksi untuk mendapatkan 1kg daging hanya 50rb (Pakan, kandang, obat, vitamin, dll sebelum biaya tenaga kerja).
Masih ada space 50rb per kg untuk biaya tenaga kerja dan margin (keuntungan). Longgar sekali. Misal dialokasikan 15rb per kg untuk biaya tenaga kerja, masih ada 35 rb margin.
Gaji tenaga kerja tinggi ga masalah. HPP (harga jual) masih sangat kompetitif.
Kok bisa efisien gitu? Mungkin biaya pakan murah, peternakan besar dan massal, bibit bagus, pertumbuhan bagus.
Saat di Indonesia harga daging eceran 150rb per kg, misal dikirim (ekspor) ke Indonesia 100rb per kg, tentu masih sangat menarik.
Seperti bahan tambang Indonesia, perusahaannya mampu bayar tenaga kerjanya bagus. Hal ini disebabkan oleh harga jual bahan tambangnya (misal batubara), pakai harga internasional. Sedang biaya produksinya efisien. Dengan mesin-mesin besar. Tanpa biaya menumbuhkan, tinggal gali saja.
Selisih antara harga jual batubara dengan biaya produksi sebelum biaya tenaga kerja cukup lebar. Hingga, alokasi biaya tenaga kerja bisa longgar. Pekerja digaji tinggi.
Batubaranya bisa diekspor ke China, sebagaimana daging/sapi yang efisien dari Selandia Baru atau Australia, diekspor ke Indonesia.
Mereka efisien di produksi "produk terbarukan" (sapi/perternakan).
Kita efisien di produksi "produk tidak terbarukan" (tambang, SDA).
Saat sumberdaya alam tak terbarukan habis, selesai kita. Jadi buruh murah kita.
Merdekaaaaa!
(Rahman Faturrahman)