SIAPA SAJA YANG DAWIR-DAWIR?
(Dawir-dawir artinya muter-muter untuk menipu)
Oleh: KH Luthfi Bashori
Ada banyak orang yang datang kepada saya pribadi, tentu yang saya ceritakan ini bagian yang dawir-dawir saja.
Contoh lebih dari 20 tahun yang lalu, ada seorang Kyai/Gus yang datang dengan membawa segudang problem rumah tangga, hingga saya tampung untuk beberapa saat di pesantren, namun berakhir dengan pinjam uang saya seharga sepeda motor dan tidak membayar hingga saat ini.
Contoh oknum Kyai, Gus maupun Lora yang seperti ini cukup sering terjadi dengan kisah masing-masing yang berbeda-beda, belum lagi yang mengaku jadi wali (wali-walian) dalam melakukan aksinya.
Ada juga orang yang datang mengaku sebagai famili jauh, anehnya dia tahu beberapa nama kakek buyut saya, lantas ijin bermalam dan saya persilahkan menginap di kantor pesantren, ternyata esok paginya pulang tanpa pamitan dan saat itu dia membawa/mencuri tape recorder milik saya pribadi yang ukuran sedang, padahal sudah saya hormati sedemikian rupa.
Ada pendeta yang menyatakan diri masuk Islam, minta dituntun baca syahadat. Karena bercerita kalau dirinya diusir oleh keluarganya, maka saya beri hadiah pakaian dan sejumlah uang, ternyata dia penipu yang telah meraup jutaan uang dari beberapa jamaah di berbagai masjid.
Ada dari oknum habaib yang datang dengan berbagai alasan hingga akhirnya minta uang, pernah di antaranya saya beri uang Rp 5 ribu di dalam amplop, setelah ditengok dia mengeluh, "Habib kok cuma dapat 5 ribu !"
Ada masyayekh (Arab non habaib) yang datang seakan-akan mau memberi sumbangan, namun akhirnya meminta sejumlah uang dengan alasan untuk mengurus administrasi sumbangan, dan hingga saat ini tidak pernah ngongol lagi.
Ada juga dari etnis India yang berwajah Arab, datang ke pesantren atas nama habaib, lantas ijin jualan cincin, lumayan laku keras di pesantren, namun berakhir jualan jimat dan mempekerjakan santri secara kurang layak, hingga saya usir dari pesantren.
Ada juga China yang minta dituntun baca Syahadat, dan ijin untuk beberapa hari menginap di pesantren, setelah beberapa saat di pesantren, ada laporan dari masyarakat bahwa dia itu pelanggan lokalisasi pelacuran terutama di Tretes, lantas saya usir dari pesantren.
Kalau yang datang dari kalangan masyarakat umum, namun yang terhitung dawir-dawir, bukan pengemis di depan pintu pasantren, biasanya mereka minta bertemu atas nama tamu pribadi, jumlahnya pun sudah tidak dapat dihitung tangan, bahkan sampai sekarang juga masih sering terjadi.
Umumnya mereka memasang wajah melas dengan sejumlah kata-kata indah sambil menyebut nama kota asal yang relatif jauh.
Adapun sikap saya, ya tergantung situasi hati, kalau sedang enak hati ya saya beri sejumlah uang, tapi kalau hati sedang kurang baik-baik saja, ya cukup saya beri suguhan minuman, selebihnya saya ucapkan: "Mohon Maaf!"
Termasuk dawir-dawir yang sering terjadi itu adalah para penceramah mimbar, yang hoby-nya menyampaikan materi di depan publik, berupa cerita-cerita khayalan dalam pikiran awam, dan pengkultusan terhadap tokoh idola, yang tidak rasional dan tidak mendidik hingga membingungkan umat kalangan awam.(*)