Catatan Agustinus Edy Kristianto: BOM WAKTU IZIN TAMBANG UNTUK ORMAS KEAGAMAAN

Melanjutkan status sebelumnya, terutama pada bagian akhir mengenai polemik konsesi tambang untuk ormas keagamaan, terlebih lagi setelah saya sandingkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 76 Tahun 2024 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi yang baru diteken Presiden Jokowi pada 22 Juli 2024, saya temukan dua bom waktu calon potensial pemecah belah bangsa menuju kehancuran nasional.

Baca:

Sebagai catatan, aturan mainnya dalam Pasal 83A PP 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara begini: Wilayah IUPK ditawarkan secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki ormas keagamaan, di mana ormas keagamaan itu harus menjadi mayoritas pemilik saham dan menjadi pengendali. Si badan usaha itu dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya. Masa penawaran prioritas itu adalah lima tahun sejak PP berlaku.

Bom waktu kesatu, Perpres Jokowi justru menguatkan dugaan orang bahwa pemberian konsesi tambang itu memang bukan untuk kepentingan rakyat/umat tapi untuk kepentingan segelintir pihak saja. 

Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan, yang pada Peraturan Pemerintah (PP) 25 Tahun 2024 dilakukan "dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat" malah diubah semangatnya oleh Perpres Jokowi itu jadi untuk "kepentingan Badan Usaha dan/atau Organisasi Kemasyarakatan". 

Tak ada lagi tertulis untuk kepentingan masyarakat, rakyat, umat atau sejenisnya.

Bom waktu kedua, siapakah Badan Usaha yang kepentingannya harus diutamakan melalui pemberian konsesi tambang juga diubah oleh Perpres Jokowi itu, yang menurut saya, offside parah.

PP 25/2024 menyatakan "Badan Usaha adalah SETIAP BADAN HUKUM yang bergerak di BIDANG PERTAMBANGAN..." diubah redaksi, makna, dan semangatnya melalui Perpres Jokowi itu menjadi "Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk BADAN HUKUM ATAU TIDAK BERBENTUK BADAN HUKUM..."

Selain mencurigakan sebab apa dasarnya ia tambahkan sendiri aturan yang tidak ada di dalam PP, Anda dengan mudah bisa membayangkan, kekayaan alam mineral batubara di Indonesia yang luasnya ratusan ribu hektare dan cadangannya ratusan juta ton itu, akan dikelola oleh badan usaha yang bisa dibuat tanpa akta notaris, dibubarkan hanya dengan pernyataan sepihak pendiri, dan sejenisnya. 

Perpres Jokowi akan menjerumuskan ormas keagamaan dan para pemukanya menjadi bak pemilik usaha dagang (UD) kelontongan satu yang akan bersaing dengan usaha kelontongan lainnya menggunakan berbagai cara demi mencapai profit sebesar-besarnya, termasuk lewat perang narasi religi.

Apa yang sebenarnya masuk akal dalam PP 25/2024 yang mensyaratkan badan usaha dimaksud harus bergerak di bidang pertambangan malah dihapus oleh Perpres Jokowi menjadi hanya badan usaha di bidang tertentu. 

Dengan demikian, bisnis batubara yang mengandung risiko hukum yang kompleks (tuntutan lingkungan, perselisihan industrial, konflik sosial dsb), pembiayaan modal besar, dsb, akan bisa dikelola oleh badan usaha yang juga bergerak di bidang pengolahan keripik, klinik, atau mungkin jasa kurir COD (nonpertambangan). 

Mengerikan sekali. 

Perpres Jokowi juga saya duga 'menyelundupkan' mengenai keharusan badan usaha milik ormas keagamaan melaksanakan pertambangan batubara di atas lahan WIUPK secara berkesinambungan bersama Pelaku Usaha. 

Siapakah pelaku usaha itu, adalah "orang perseorangan, badan usaha, kantor perwakilan, dan badan usaha dalam negeri dan/atau luar negeri yang melakukan kegiatan usaha pada bidang tertentu". 

Tak harus pelaku usaha pertambangan.

Maka, ke depan, tak usah heran jika kita akan melihat para tokoh agama 'berkolaborasi' dengan pengusaha swasta (terutama yang berasal dari kalangan pemilik konsesi/PKB2B sebelumnya) untuk memutuskan sesuatu yang jauh dari kepentingan masyarakat/umat: bagaimana mempercepat terbitnya IUPK atas nama badan usaha ormas via OSS, bagaimana menjadikan IUPK dan aset lainnya sebagai kolateral di lembaga pembiayaan (bank atau nonbank) yang kasih bunga dan kickback bagus, bagaimana meredam kritik kerusakan lingkungan dari LSM/masyarakat, bagaimana caranya saling sikut dalam RUPS supaya si anu tidak jadi pengurus, bagaimana pembagian jatah lapak parkir dan jasa pengamanan tambang, bagaimana mengakali audit laporan keuangan, bagaimana kasak-kusuk supaya aturan tentang harga acuan batubara bisa lebih menguntungkan...

Asal tahu saja, konsesi tambang terbesar yang mau dibagikan ke ormas keagamaan adalah konsesi yang sebelumnya dimiliki oleh Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin dari Grup Bakrie (BUMI) dan konsesi punyanya Adaro Indonesia, grup usaha yang juga dimiliki oleh kakak Menteri BUMN Erick Thohir, Boy Thohir.

Data teranyar di MODI (Mineral One Data Indonesia) menunjukkan luas lahan IUPK KPC adalah 61.543 hektare di Kab. Kutai Timur (Kalimantan Timur) dan Arutmin 34.207 hektare di Kab. Tanah Laut, Kab. Tanah Bumbu, Kab. Kotabaru (Kalimantan Selatan). Sementara IUPK Adaro Indonesia 23.942 hektare di Kab. Tabalong dan Kab. Balangan  (Kalimantan Selatan).

Barangnya KPC kondang karena kalorinya yang tinggi termasuk untuk kebutuhan PLN, sedangkan Adaro kalori sedang. Harga Batubara Acuan (HBA) Juli 2024 untuk kalori tertinggi (6.322) US$130,4/ton dan terendah (3.400) US$36,22/ton.  

Tahun 2023, produksi batubara KPC dan Arutmin digabungkan 76 juta ton. Sementara Adaro 65,8 juta ton. 

Kita kalikan saja dengan harga kalori sedang per Juli 2024, yaitu US$56,09 (Rp897.440, kurs Rp16 ribu). Maka KPC dan Arutmin Rp68,2 triliun dan Adaro Rp59 triliun.

Berapa margin yang mau dimakan, kalian aturlah sendiri.

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

Baca juga :