Bisakah istri mencerai suaminya? Bisa... dengan syarat...

Bisakah istri mencerai suaminya? 

Bisa... dengan syarat...

Dalam kajian Fiqh, pemilih hak talak adalah suami. Hanya suami yang bisa menceraikan (mentalak) istrinya. Istri mempunyai hak khulu, yaitu meminta cerai dari suaminya, tapi tetap suami yang punya hak menceraikan. Jika suami menerima permintaan cerai istri, suami bisa menceraikan, jika tidak mau, ya tidak jadi cerai.

Akan tetapi pada kasus tertentu, yaitu karena suami tidak mampu memberi nafkah, atau suami mafqud (tidak diketahui keberadaannya) sampai batas waktu tertentu, atau suami ada cacat tertentu, atau suami melakukan tindakan yang membahayakan istri, maka istri bisa meminta cerai melalui hakim atau muhakkam. Sekali lagi, istri tidak bisa langsung menceraikan suaminya secara langsung, tapi melalui hakim atau muhakkam. 

Muhamamd Najib al-Muti’i dalam kitab Takmilah al-Majmu’ Syarah Muhadhdhab menjelaskan:

وان أعسر بنفقة المعسر كانت بالخيار بين أن تصبر وبين أن تفسخ النكاح
وبه قال عمر وعلي وأبو هريرة وابن المسيب والحسن البصري وحماد بن أبى سلمة وربيعة ومالك وأحمد

“Jika (seorang suami) tidak mampu memberi nafkah (untuk istrinya secara mu'sir), maka (istrinya tersebut) diberi pilihan antara bersabar (dengan keadaan suaminya) atau memfasakh nikahnya melalui qodhi/hakim atau melalui muhakkam (tokoh masyarakat yang mengerti tentang hukum)”. Inilah pendapat sahabat Umar bin Khattab, Ali bin Abi Talib, Abu Hurairah, Ibu al-Musayyab, al-Hasan al-Basri, Hamad bin Abi Salamah, Rabi’ah, Imam Malik, dan Imam Ahmad.

Nah yang menarik, pada kasus tertentu, jika permintaan cerai melalui hakim atau muhakkam tidak bisa diwujudkan karena berbagai alasan, ISTRI BISA MENCERAIKAN SUAMINYA tanpa perantara siapapun. Dalam kitab ‘Ianah al-Talibin dijelaskan:

إذا تعذر القاضى أو تعذر الاثبات عنده لفقد الشهود أو غيبتهم فلها أن تشهد بالفسخ وتفسخ بنفسها

“Jika qodhi/hakim memiliki uzur atau mengalami kesulitan/sulit untuk menetapkan ketidakmampuan suami dalam pemberian nafkah wajib karena saksi-saksinya tidak ada, ada saksi-saksinya tapi tidak bisa datang ke tempat (ghoib), maka istri bisa bersaksi untuk fasakh nikahnya, dan istri bisa memfasakh pernikahannya sendiri.” (I'anatut Tholibin : 4/92)

Hal ini demi melindungi hak istri dan mewujudkan tujuan pernikahan yang di antaranya adalah "sakinah". Coba bayangkan, jika ada istri dipoligami sirri, statusnya digantungkan, suaminya tidak mau menafkahinya tapi tidak mau menceraikan, mau minta cerai ke Pengadilan Agama tapi tidak bisa (karena ada peraturan SEMA tahun 2018, atau karena pernikahannya tanpa wali, atau alasan lainnya), lalu bagaimana caranya dia lepas dari jeratan praktek pernikahan yang zalim tersebut?

Wallahu A'lam.

(Holilur Rohman)

Baca juga :